Kamis, 31 Januari 2013

Tambleg Menangis


Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan. Hal tersebut sudahlah menjadi hukum alam. Perpisahan memang bukanlah hal yang menyenangkan, tetapi mau tak mau kita harus dapat menerima salah satu proses kehidupan yang satu itu. Sebelumnya aku sama sekali tak menyangka, hari terakhir kami di Tambleg, Banten akan menjadi salah satu momen kesedihan hidup yang pernah kulalui. Terlepas dari kebahagiaan bahwa kami akan kembali dapat menikmati fasilitas – fasilitas kehidupan dengan cukup mudah di perkotaan, ternyata di balik itu semuanya menyimpan duka yang cukup dalam.
            Hari itu, tanggal 1 Januari 2013, tahun baruku di tempat yang baru pula, pagi – pagi sekali setelah Shalat Subuh aku memulai untuk berkemas. Merapikan dan memasukkan pakaianku satu persatu ke dalam tas besarku. Begitu banyak barang yang harus dibereskan. Yahh…tak terasa sudah 3 minggu aku berasa di Kampung itu. Rasanya baru beberapa hari yang lalu aku datang dan akhirnya tiba waktunya untuk pulang kembali. Berbagai perasaan campur aduk jadi satu. Aku pasti akan merindukan tempat itu, pikrku. Banyak hal menarik yang aku dapatkan di sana dan pastinya semua itu tak akan terlupakan. Terlebih lagi keluargaku yang sangat baik hati. Pagi itu ibu dan bapakku beraktivitas seperti biasa. Tetapi aku tahu ada yang beda di wajah mereka. Raut wajah kesedihan. Aku akan begitu sedih dan tak tega meninggalkan mereka.
            Adikku Didi sudah bangun di pagi hari. Melihatku berkemas memasukkan barangku ke dalam tas dia pun bertanya “ Mbak mau kemana?”. “ Mbak badhe uwih,” jawabku sambil tersenyum. “ Uwih kamana?” tanyanya lagi. “ Ke Bogor. Ayok adik ikut Mbak ke Bogor,” ajakku. Dia hanya menggeleng sambil memandangiku. “ Adik yang pintar ya nanti kalo mbak sudah pulang,” kataku padanya sambil membelai lembut kepalanya. Ohh… sungguh aku akan merindukan adikku yang satu ini. Adikku yang begitu unik. Maafkan aku Allah, aku belum bisa banyak berbuat banyak untuk dia, kataku dalam hati. Aku masih merasa menjadi kakak yang belum sukses, terkadang aku belum bisa mengendalikannya. Aku hanya berdoa yang terbaik untuknya ke depan. Semoga dia bisa menjadi anak yang penurut, saleh dan berbakti kepada kedua orang tua.
            Waktu sudah hampir menunjukkan pukul 7 pagi. Waktunya aku untuk pulang. Aku pamit kepada bapak dan ibuku. Aku meminta maaf atas segala kesalahan yang sudah kulakukan, meminta maaf jika telah merepotkan. Mengapa semuanya menjadi terasa begitu berat, berat meninggalkan rumah baruku itu.  Rasa kekeluargaan dan kecintaan yang amat besar, akan sangat terasa ketika kita akan berpisah. Ibuku membantu memanggilkan ojek untuk mengantarkan barangku yang berat. Kami berjalan turun untuk menuju ke depan rumah Pak Utar, tempat berkumpul anak – anak SGI untuk kemudian berjalan bersama – sama ke Nagajaya. Aku melihat di sana sudah ramai sekali orang. Semua warga datang mengantarkan kepergian kami. Aku benar – benar tak menyangka, sebegitu berartikah kami di kampung ini.  Beberapa waga tampak menangis, tak rela dengn kepergian kami, begitu pula dengan teman – teman SGI. Wajah mereka memancarkn kesedihan yang mendalam. Ohh…aku benci orang menangis. Aku sudah mewanti – wanti diriku sendiri untuk tidak menangis, tetapi melihat orang lain menangis selalu membuatku ingin menangis pula. Aku tak bisa menahan air mataku yang jatuh. Aku mencoba berkeliling menyalami warga satu persatu. Semuanya sedih. Aku betul – betul tak menyangka, warga Tambleg memiliki rasa kekeluargaan yang  luar biasa. Ikatan hati yang kuat terjalin  dalam kurun waktu hanya tiga minggu.
            Mereka kemudian mengantarkan kami sampai ke Nagajaya dengan berjalan kaki. Beberapa rela membawakan barang kami. Kesedihan yang mendalam memuncak memenuhi seluruh relung hati. Suara deru truk mulai terdengar. Mereka pun menangis melepas kepergian kami, begitu pula dengan kami. Tambleg oh Tambleg…begitu banyak kenangan yang sudah terjalin. Kami pasti akan sangat merindukan kampung yang satu ini.            

BACA JUGA :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar