Kamis, 30 Oktober 2014

Tetesan - Tetesan

Gersang telah cukup lama menyapa. Kering dan panas beradu bersama debu, menemani hari yang sepi. Rasa - rasanya sudah hampir lupaku pada tetesan itu. Berkah - berkah Illahi yang jatuh ke bumi. Sudah lama. Benarkah aku tak bermimpi? Kujumpainya di pengujung malam. Walau hanya suara berbisik yang tak sanggup kupandang. Terlalu hina, mengabaikan semuanya. Benarkah tak hingga dosa menahan setiap langkah yang ada. Bahkan bergerak pun payah. Akal terus berjalan mengikuti indra pendengaran. Harusnya ya..harusnya..tetapi nyatanya tak demikian. Lumuran debu rupanya erat menempel. Bisikan itu pun merayu.  Perlu peyucian, sepertinya. Kesempatan itu hilang. Dan detik ini tetesan itu kembali hadir. Bukan di luar melainkan di dalam. Bukan lagi keberkahan melainkan kesalahan. Kesalahan sebagai pembungkus, tetapi tetap indah isi dan dalamnya, selalu, membuatku terbangun. Sebuah hal yang membuka pikiran. Cukup berat tapi tak cukup kuat, deras. Oh kini tau rasanya. Inilah sebuah pelajaran?  Sebuah episode, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Karena ada Sang Maha Pengasih lagi Penyayang.

Selasa, 28 Oktober 2014

Fenomena Jurusan Kedokteran

            Kedokteran, masih menjadi jurusan favorit yang diincar oleh calon - calon generasi penerus bangsa, khususnya mereka yang merupakan kaum berada. Fakultas kedokteran  menjadi top number one,  rating tertinggi hampir di semua universitas di Indonesia. Rupanya tak berubah, minat para siswa calon mahasiswa dari era dulu sampai masa kini terhadap profesi dokter, terbukti masih terus stagnan di posisi atas. Walaupun ada jurusan favorit baru seperti teknik informatika ataupun ilmu komputer  tetap tak menurunkan rating kedokteran sebagai jurusan dengan minat yang tinggi. Aku masih belum mengerti apa yang membuat sebagian besar anak berniat menjadi dokter. Karena untuk aku pribadi, mulai kecil sampai dewasa, tak pernah terbersit sedikitpun niat untuk memilih profesi itu.  Apakah memang benar - benar passion mereka di bidang tersebut? Apakah memang mereka benar - benar berniat secara tulus membantu orang lain, memberikan pelayanan kesehatan dan memiliki minat lebih pada bidang itu? Aku penasaran mengenai hal tersebut, sehingga kucoba melakukan survei kecil - kecilan tak resmi dengan melakukan wawancara kepada beberapa orang siswa yang aku ajar. Berikut sepotong pembicaraan yang aku lakukan dengan salah seorang dari mereka.
          " Mau masuk jurusan mana nanti?" tanyaku
          " Kedokteran Mbak, " Lagi dan lagi. Hampir semua yang kutanya ingin masuk ke kedokteran.
          " Kenapa mau masuk kedokteran?" tanyaku lagi.
          " Disuruh mama, Mbak, " aku mengernyitkan dahi. 
          " Lha kamu sendiri suka apa nggak?"
          " Sebenarnya sih nggak mbak. Tapi mau gimana lagi disuruh orang tua seperti itu," katanya pasrah.
         " Kamu sendiri maunya ambil jurusan apa?"
         " Sebenarnya sih ingin ambil bisnis mbak, tapi nggak boleh sama mama. Katanya ngapain mau bisnis aja pakai sekolah. Langsung jalan sendiri juga bisa"
         " Oh ya?" 
       " Iya Mbak. Dan lagi kebanyakan anak - anak teman mamaku kuliahnya kedokteran. Jadi mamaku inginnya biar aku juga bisa masuk kedokteran supaya bisa dibanggakan."
         Sepenggal pembicaraan yang cukup membuatku tercekat. Dan ketika kutanya anak yang lain, sebagian menjawab alasan yang sama. Ada yang karena orang tuamya dokter jadi mau tak mau meneruskan profesi orang tuanya, ada yang karena dipaksa orang tua, walaupun ada juga yang memang benar - benar berniat ingin kuliah kedokteran, tapi itu tak banyak. Pemikiranku kemudian mengarah ke asumsi masyarakat bahwa menjadi dokter itu keren. Tapi apakah cukup hanya sekedar ingin keren dengan status sosial yang tinggi di mata masyarakat, yang menjadi motivasi untuk mengambil jalan tersebut. Kenyataan lainnya yang tak kalah menyedihkan, hanya karena ego dan gengsinya, orang tua tega memaksakan kehendaknya kepada anaknya terhadap sesuatu yang dia  tidak suka. Memang tak dapat dipungkiri, sebagai orang tua tentunya bangga jika anaknya mempunyai profesi yang dapat dibanggakan, seperti profesi dokter. Tetapi bukan berarti menjadi dokter merupakan satu - satunya jalan mengukur keberhasilan anak, yang terpenting adalah mengarahkan mereka sesuai dengan bakat alaminya dan apa yang menjadi minatnya. Sehingga harapannya, seluruh potensi anak dapat berkembang dan mereka menjadi ahli di bidangnya masing - masing ke depannya. Tentunya kebahagiaan anak merupakan kebahagiaan orang tua juga. Hal yang perlu diingat bahwa setiap anak itu unik, punya kelebihannya masing - masing. Maka dari itu pelajaran untuk para orang tua, berhentilah memaksa keinginan ana demi ego pribadi. Orang tua wajib mengarahkan tetapi tidak berhak memaksakan. Biarlah mereka berkembang sesuai dengan kodratnya dan menjadi seseorang yang dapat dibanggakan dengan dirinya apa adanya.
 

Minggu, 26 Oktober 2014

Muhasabah 1 Muharram

"Renungan umur kita".1 hari di sisi Tuhanmu (akhirat) adalah spt 1000 th menurut perhitunganmu.  (QS 22: 47). "Ternyata cuma 1,5 jam saja umur kita hidup di dunia ini". Mari kita lihat berdasarkan Al Qur'an.1 hari akhirat = 1000 tahun.3 jam akhirat = 125 tahun.1,5 jam akhirat = 62,5 tahun.Jika umur manusia rata-rata 60-70 tahun, maka hidup manusia ini jika dilihat dari langit hanyalah 1,5 jam saja. Pantaslah kita selalu diingatkan "masalah waktu" (QS : 103:1) Ternyata hanya " satu setengah jam saja" yg akan menentukan kehidupan abadi kita kelak, hendak di Surga atau Neraka. (QS 35:15, 4:170).Cuma "satu setengah jam saja" cobaan hidup, maka bersabarlah (QS 74:7, 52:48, 39:1­0).Demikian juga hanya "satu setengah jam saja" kita harus menahan nafsu dan mengganti dengan sunnah-Nya. (QS 12:53, 33:38)."Satu Setengah Jam" sebuah perjuangan yg teramat singkat dan Allah akan mengganti surga Ridha Allah. (QS 9:72, 98:8, 4:114).Maka berjuanglah untuk mencari bekal perjalanan panjang nanti (QS 59:18, 42:20, 3:148, 28:77).Allah berfirman: "Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sungguh2 mengetahui" (QS 23:114)

Copas from wa