Senin, 28 Januari 2013

Keluarga Baruku


Perasaan dag dig dug tak karuan aku rasakan ketika sampai di Kampung Tamblek, Desa Cidikit, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Banten. Masih belum terbayang dalam benakku bagaimanakah keluarga yang akan menjadi induk semangku. Yaa… untuk program KKN bertemakan SHARE ( SGI Help And Care ) yang merupakan rangkaian program Sekolah Guru Indonesia ini, setiap peserta SGI 4 akan ditempatkan dalam setiap rumah yang berbeda di kawasan Kampung Tambleg, Banten. Harap – harap cemas karena kita tidak tahu bagaimana kondisi keluarga yang akan kami tempati nanti.
            Kupandangi sejenak tempat tinggal baruku dari luar. It’s not really too bad, tidak seperti yang kubayangkan. Bahkan tempat KKN-ku dulu sewaktu aku kuliah jauh lebih parah. Rumahnya mungil, tetapicukup modern, tidak seperti rumah – rumah lain di lingkungantersebut yang masih tampak begitu tradisional. Di rumah baruku ini lantainya beralaskan keramik dan dindingnya juga sudah menggunakan tembok. Kulihat ada poster besar di dinding depan rumah yang bertuliskan “ Posyandu “. Ohh… aku baru tahu bahwa rumah yang akan kutempati ternyata adalah rumah salah satu kader Posyandu yang biasa dijadikan untuk tempat kegiatan tersebut.     
            Seorang ibu separuh baya berkulit sawo matang tersenyum menyambut kedatanganku. Itulah ibu baruku. Bu Hena namanya. Sewaktu aku datang, tepatnya di malam hari, suami ibu itu yaitu Bapak Ruskanda sedang tidur di depan ruang televise. Bapak baruku kemudian terbangun melihat kedatanganku. Sempat tak enak hati karena telah mengganggu tidur beliau. Pak Ruskanda, begitulah biasanya orang lain menyebut. Tampak sangar dengan kumisnya, tetapi orangnya baik hati. Aku hanya berharap mereka bisa menjadi keluarga yang baik bagiku. Aku yakini bahwa apapun keteteapan Allah itu merupakan yang terbaik untukku, juga dengan keputusan-Nya untuk menempatkanku di rumah ini.
            Awalnya Bu Hena dan Pak Rus tidak banyak bicara padaku yan kemudian aku ketahui alasannya dari ibu baruku itu, yaitu mereka tidak terbiasa berbicara dalam bahasa Indonseia. Mereka menggunakan bahasa Sunda untuk bahasa sehari – hari mereka, sehingga ketika mereka berbicara menggunakan Bahasa Indonesia, mereka menjadi agak kagok, ragu dan akut salah. Tetapi akhirnya aku berhasil meyakinkan meekan bahwa tak perlu ragu untuk berbicara Bahasa Indonesia padaku dan tak masalah bagiku untuk mencampur Bahasa Indonesia dengan Bahasa Sunda karena aku sedikit mengerti bahasa Sunda dan ingin banyak belajar dari mereka. Sejak saat itu mereka menjadi lebih percaya diri untuk berbicara denganku.
            Ternyata Allah tak salah menempatkanku di rumah ini dan di keluarga ini. Ibu dan bapak baruku begitu baik padaku, bahkan menganggapku sebagai anak sendiri. Mereka begitu perhatian, terutama untuk urusan makan. Mereka tak akan pernah membeiarkan perutku dalam keadaan kosong barang sedetikpun. Begitu banyak makanan hasil olahan sendiri yang disediakan setiap waktu  dan mereka tak segan menegurku kalau aku tak makan sekali saja. Mereka tak akan membiarkanku keluar Kampung Tambleg dalam keadaan kurus kering layaknya orang kurang gizi.
            Selain mendapat ayah dan ibu baru, aku juga mendapat saudara – saudara baru. Ibu dan bapak baruku mempunyai 2 orang anak, yang pertama perempuan dan yang kedua laki – laki. Anak perempuannya berumur 20 tahun yang sekarang tinggal di Bogor karena dia bekerja di sana. Namanya Henti. Karena jarang pulang aku belum pernah bertemu dengannya. Adiknya bernama Didi Mardiana. Seorang anak laki – laki berumur 4,5 tahun yang bisa dikatakan cukup aktif. Anaknya baik dan selalu ingin tahu, tetapi terkadang dia cukup bandel dank eras, susah untuk dinasehati. Tak jarang juga dia sering mengganggu teman – temannya sampai temannya menangis. Disinilah tantangannya bagiku. Terus terang kadang aku kewalahan menghadapi sikapnya, tetapi aku tahu pada dasarnya dia hanya ingin mencari perhatian. Orangtuanya selalu menyebutnya sebagai anak yang bandel, yang aku ketahui merupakan mindset buruk dan sugesti negative untuk anak balita sepertinya. Sedikit demi sedikit aku berusaha mencoba membalikkan mindset anak itu menjadi positif seperti “ Didi anak yang pintar “ atau “ Didi anak yang baik “.
            Entah mengapa Didi selalu ingin ikut denganku kemanapun aku pergi. Dia selalu menggandeng tanganku dan terkadang takmau lepas dariku. Tak jarang sampai menangis jika kutinggal. Aku tak mengerti jalan pikirannya. Apakah dia butuh kasih saying lebih, atau ia sedang merindukan kakaknya. Aku tak paham mengenai hal itu. Aku hanya berharap bisa menjadi kakak yang baik baginya.
            Didi mungkin terkesan agak keras, susah dinasehati dan terlalu cuek, tetapi aku tahu sebenarnya diam – diam dia memperhatikan. Pernah waktu itu di sela – sela kesibukannya bermain aku mencoba mengajarinya menyanyi.. “ Satu – satu aku saying ibu … dua – dua aku saying ayah ..tiga – tiga saying adik kakak … satu dua tiga … saying semuanya …”. Waktu itu dia sama sekali tidak menghiraukanku. Dia hanya terkadang mengikutiku pada suku kata terakhir. Selebihnya dia seolah tak peduli dan terlihat sibuk sendiri. Namun aku tak mau menyerah, aku ulang – ulangi lagunya sampai aku kelelahan sendiri. Suatu ketika ketika dia sedang bermain bersama bapaknya di kamarnya, aku mendengarnya mengobrol bersama bapaknya dan menyanyikan lagu itu dengan lancer. Senang sekali rasanya, walaupun seolah – olah tak peduli ternyata diam – diam dia memperhatikan apa yang kukatakan dan kuajarkan. Didi … oh Didi …
            Itulah keluarga baruku. Dengan segala suka duka di dalamnya, mengingatkanku pada keluarga di rumah. Ibu … ayah … adikku … bagaimana kabar mereka ya? Sudah lama rasanya aku tak bertemu dengan mereka. Semoga Allah menganugerahkan kepada mereka semua di sana. Amin…

BACA JUGA :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar