Senin, 28 Januari 2013

Kondisi Wilayah Tambleg


Oops….lagi – lagi aku terpeleset batu yang licin. Sandal gunungku sudah tak jelas lagi warna aslinya. Warnanya sudah berubah menjadi coklat muda penuh dengan lumpur. Aku memperlambat jalanku. Jalanan turun yang penuh dengan bebatuan. Hujan membuat jalanan begitu licin sehingga membuatku harus lebih berhati – hati. Tidak ada jalanan beraspal di tempat tersebut. Yaa…itulah keadaan wilayah Kampung Tambleg, Desa Cidikit, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Banten.. Masih begitu konvensional. Seperti belum terjamah dunia luar. Untuk ke kota saja perlu perjalanan panjang dan waktu yang begitu lama. Bahkan mobil pun tak bisa masuk ke tempat itu. Jalanan sempit bebatuan yang hanya dapat diakses dengan berjalan kaki atau sepeda motor. Untuk mengendarai sepeda motor di daerah tersebut juga bukanlah hal yang mudah, perlu skill khusus kalau tidak pasti akan terpeleset. Banyak korban pengendara sepeda motor yang tidak bisa mengendalikan sepeda motornya yang kemudian terjatuh.
            Ketika aku sampai di sana aku sebenarnya masih merasa tercengang. Masih ada ya tempat seperti ini di zaman modern, pikirku waktu itu. Semuanya tampak begitu alami. Listrik saja katanya baru ada setahun yang lalu. Untungnya ketika aku datang, listrik sudah ada di sana, walaupun terkadang listriknya sering mati ketika hujan. Hanya saja di jalanan, penerangan sungguh kurang. Tak ada lampu jalan. Jadi  kalau kami mau keluar di malam hari perlu membawa senter atau alat lain yang bisa menerangi kami.
            Hawa dingin Tambleg di pagi hari selalu merasuk ke dalam tubuhku. Kabut yang melengkapi kealamian kampong tersebut menemani hari – hariku di sana. Kalau kita mencoba meniup udara, kita bisa melihat uap air dari mulut yang keluar seperti kabut putih, serasa di Korea. Untuk berkomunikasi menggunakan handphone pun hanya dapat dilakukan di tempat – tempat khusus. Tak ada sinyal, yang membuatku cukup kelimpungan karena bagiku handphone sudah menjadi barang primer. Begitu susah menghubungi keluarga, kerabat ataupun sahabat, benar – benar membuatku tak habis pikir, bagaimana orang – orang disini menjalani kehidupannya. Semuanya serba terbatas. Untuk mendapatkan barang yang diinginkan saja harus pergi ke kota. Itu pun membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam.
            Sawah dan ladang menjadi pemandangan keseharianku di sana. Di mana – mana terlihat hijau. Sangat kontras jika membandingkannya dengan kehidupan di ibukota. Kepadatan lalu lintas, polusi udara, kriminalitas hamper tidak ada di Kampung Tambleg. Awalnya aku heran banyak penduduk di sana dengan santainya meninggalkan rumah mereka tanpa dikunci. Mereka merasa aman karena memang jarang sekali ada kasus pencurian di sana. Begitulah kehidupan di Kampung Tambleg, kampung pelosok yang memiliki banyak cerita penuh makna.


BACA JUGA :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar