Senin, 28 Januari 2013

Sebutir Nasi Sejuta Keringat


Lama rasanya aku tak pergi ke tempat itu. Hamparan hijau yang terbentang luas dengan genangan air dan tanaman yang tumbuh di atasnya membuat suasana menjadi  begitu asri dan sejuk. Akhirnya di sinilah, di Kampung Tambleg Banten, aku menemukannya kembali. Memanglah benar sudah lama aku tak melihat sawah secara langsung. Dulu sewaktu aku masih kecil, sawah masih aku temukan di kampungku. Tetapi sekarang semuanya telah berubah, sawah itu telah disulap menjadi perumahan – perumahan mewah yang disewakan. Sampai aku besar pun aku belum menemukan sawah lagi karena aku selalu merantau ke daerah perkotaan. Ketika aku merantau ke Jakarta selalu terbersit keinginan untuk pergi ke daerah pedalaman yanga sri, tenang  dan nyaman tanpa ada polusi, kemacetan dan kesumpekan di jalanan. Kemudian doaku terjawab sudah. Warga Kampung Tambleg sebagian besar berprofesi sebagai petani dan memiliki sawah sendiri. Begitupun dengan induk semangku.
            Pada suatu kesempatan, aku mencoba ikut bapak dan ibu induk semangku ke sawah untuk mengetahui kegiatan mereka. Ternyata jarak antara rumah dan sawah tak bisa dibilang dekat. Entah mengapa begitu berat menopang tubuhku untuk berjalan kaki lumayan jauh. Kami melewati jalan setapak yang licin dan penuh dengan lumpur. Karena tak terbiasa, aku berjalan cukup lama, jauh di belakang bapak dan ibuku, bahkan adikku Didi yang masih berumur 4,5 tahun. Bolak – balik aku terpeleset dan tanganku penuh dengan tanah karena berpegangan takut jatuh. Sungguh aku tak terbiasa. Setelah hamper setengah jam berjalan  akhirnya sampai juga aku di sawah orang tua baruku. Di atasnya terdapat sebuah saung kecil yang terbuat dari bamboo. Ibuku kemudian membuat api di depannya untuk mengusir nyamuk. Kurasakan keindahan alami dan kesejukan udara yang berhembus dengan pemandangan yang menakjubkan. Subhanallah sekali ciptaan Allah yang satu ini.
            Tugasku hari itu adalah memupuk padi. Istilahnya di sana yaitu “ ngeberak padi”. Di waktu – waktu sebelumnya sawah sudah dibajak dan ditanam padi, kemudian tiba waktunya untuk memupuk padi. Pupuk yang digunakan yaitu campuran antara pupuk Urea dan NH3. Caranya cukup mudah, hanya menaburkan sedikit saja campuran pupuk tersebut ke masing – masing padi yang sudah ditanam. Harus juga dipastikan bahwa tidak ada satu padi pun yang terlewati. Sepertinya mudah, tetapi kenyataannya cukup membuatku merasa kesulitan. Ketika aku tenggelamkan kakiku ke sawah dan mulai memupuk tak jarang aku menginjak padi yang di belakangnya. Karena jarak antar padi cukup dekat, membuat aku harus lebih berhati – hati untuk berjalan. Awal – awalnya aku sangat bersemangat, lama kelamaan aku mulai kelelahan. Aku melihat ke depan sawah yang terbentang sangat luas dengan ratusan padi di atasnya dan aku harus memupuk mereka satu persatu. Aku menghela nafas panjang, mencoba mengembalikan seluruh semangatku. Diam – diam aku mengagumi ibuku yang dengan sabarnya dan tampak lelah berjalan memupuk satu persatu padi di depannya. Secara usia mungkin aku lebih muda, tetapi tampak ibuku lebih kuat dan lebih semangat dariku. Aku jadi malu sendiri. Beberapa jam kemudian akhirnya selesai juga acara pemupukan itu. Aku bernafas lega. Aku merasakan ternyata tak cukup mudah untuk mengurus sawah, perlu energy dan semangat ekstra melakukannya. Hal itu member petunjuk membuatku lebih bersyukur dengan keadaan yang ada sekarang dan yang pasti tidak boleh membuang – buang nasi karena seperti kata pepatah “ Sebutir Nasi Sejuta Keringat “

BACA JUGA :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar