Oops….lagi
– lagi aku terpeleset batu yang licin. Sandal gunungku sudah tak jelas lagi
warna aslinya. Warnanya sudah berubah menjadi coklat muda penuh dengan lumpur.
Aku memperlambat jalanku. Jalanan turun yang penuh dengan bebatuan. Hujan
membuat jalanan begitu licin sehingga membuatku harus lebih berhati – hati.
Tidak ada jalanan beraspal di tempat tersebut. Yaa…itulah keadaan wilayah Kampung
Tambleg, Desa Cidikit, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Banten.. Masih begitu
konvensional. Seperti belum terjamah dunia luar. Untuk ke kota saja perlu
perjalanan panjang dan waktu yang begitu lama. Bahkan mobil pun tak bisa masuk
ke tempat itu. Jalanan sempit bebatuan yang hanya dapat diakses dengan berjalan
kaki atau sepeda motor. Untuk mengendarai sepeda motor di daerah tersebut juga
bukanlah hal yang mudah, perlu skill khusus kalau tidak pasti akan terpeleset.
Banyak korban pengendara sepeda motor yang tidak bisa mengendalikan sepeda
motornya yang kemudian terjatuh.
Ketika aku sampai di sana aku
sebenarnya masih merasa tercengang. Masih ada ya tempat seperti ini di zaman
modern, pikirku waktu itu. Semuanya tampak begitu alami. Listrik saja katanya
baru ada setahun yang lalu. Untungnya ketika aku datang, listrik sudah ada di
sana, walaupun terkadang listriknya sering mati ketika hujan. Hanya saja di
jalanan, penerangan sungguh kurang. Tak ada lampu jalan. Jadi kalau kami mau keluar di malam hari perlu membawa
senter atau alat lain yang bisa menerangi kami.
Hawa dingin Tambleg di pagi hari
selalu merasuk ke dalam tubuhku. Kabut yang melengkapi kealamian kampong
tersebut menemani hari – hariku di sana. Kalau kita mencoba meniup udara, kita
bisa melihat uap air dari mulut yang keluar seperti kabut putih, serasa di
Korea. Untuk berkomunikasi menggunakan handphone pun hanya dapat dilakukan di
tempat – tempat khusus. Tak ada sinyal, yang membuatku cukup kelimpungan karena
bagiku handphone sudah menjadi barang primer. Begitu susah menghubungi
keluarga, kerabat ataupun sahabat, benar – benar membuatku tak habis pikir,
bagaimana orang – orang disini menjalani kehidupannya. Semuanya serba terbatas.
Untuk mendapatkan barang yang diinginkan saja harus pergi ke kota. Itu pun
membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam.
Sawah dan ladang menjadi pemandangan keseharianku di
sana. Di mana – mana terlihat hijau. Sangat kontras jika membandingkannya
dengan kehidupan di ibukota. Kepadatan lalu lintas, polusi udara, kriminalitas
hamper tidak ada di Kampung Tambleg. Awalnya aku heran banyak penduduk di sana
dengan santainya meninggalkan rumah mereka tanpa dikunci. Mereka merasa aman
karena memang jarang sekali ada kasus pencurian di sana. Begitulah kehidupan di
Kampung Tambleg, kampung pelosok yang memiliki banyak cerita penuh makna.
BACA JUGA :
Ceritaku
- Obat Herbal Mujarab
- Assalamu'alaikum
- Cerita Hujan
- Rejeki Penjual Jas Hujan
- Pengalaman Mengikuti Seleksi Beasiswa LPDP
- Awardee LPDP PK 40 - Kemilau Nusantara-
- Susahnya Matematika K13
- Menulis Impian
- Fenomena Jurusan Kedokteran
- Perbedaan Gejala Maag dan Masuk Angin
- Pengalaman Ikut Workshop STIFIN
- Dampak Permainan Playstation bagi Anak
- Faktor Pembentuk Akhlak
- Profesi PNS Idaman Masyarakat
- Resensi Buku “ Trik – Trik Berhitung “
- Resensi Buku “ Belajar Menuang Ide dalam Puisi – Cerita – Drama “
- Resensi Buku “ We Are Good Mothers “ 100% Jadi Ibu bagi Wanita Pekerja
- Guru 12 Purnama
- Esok Kiamat ??!!
- Masalah Psikologis Anak
- Selamat Hari Guru
- Siswaku Indigo !!!
- Yuk Berdonasi di Kolong Ilmu
- Makna dari Kisah Abu Thalib
- Matematika, Siapa Takut ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar