Jumat, 25 Oktober 2013

Skak Mat



 Episode Sebait Sendu   

Ketika kantuk melanda ;  Pagi menjelang siang ; Rabu, 23 Oktober 2013

Pertanyaan sederhana itu tiba – tiba muncul dan menorehkan sejuta tanya dalam kepalanya. Dahinya berkerut pertanda sel – sel kelabunya mulai terhubung satu sama lain,  menyusun satu demi satu kata – kata menjadi barisan rangkaian kalimat  terbaik yang dapat diolahnya. “ Banyak” , katanya “ terlalu banyak hingga tak memungkinkan untuk dapat terungkapkan. “ Maka terdiamlah mereka sejenak. “ Baiklah”, beliau mengintimidasi kembali melalui pertanyaan yang dibuatnya, “ Jadi apakah dapat disebutkan contohnya?” Lagi – lagi sebuah  pertanyaan paling sederhana yang diungkapkan, tetapi  cukuplah hal tersebut menyita pikiran alam sadarnya. Jebakan, ujarnya dalam hati. Haruslah dibuat jawaban seindah dan serasional mungkin yang takkan menimbulkan pertanyaan baru. Apakah akal sehatnya akan mampu menaklukan semuanya? Tunggu dulu, marilah lihat kenyataan yang terjadi. Sungguh, apa yang disebut kecerdasan menurut orang lain itu tak mampu menggambarkan banyak hal, atau mungkin fakta yang berbicara bahwa sebenarnya dia tak secerdas yang dikatakan mereka. Baiklah, benar halnya bahwa suka itu telah dijelaskannya dengan sempurna. Senyum beliau membuatnya sedikit lega, sebagian perasaan kemenangan telah didapatkannya menjadi pertanda semua akan baik – baik saja. Sayangnya, beberapa detik pun mampu mengubah segalanya. Sebaris ucapan tak mungkin dapat ditariknya kembali. Duka itu… bukanlah itu yang ada di hatinya. Nuraninya berteriak,  itu bukan duka sebenarnya, jawaban tersempurna yang pernah diucapkan oleh mulutnya namun bukan oleh jiwanya. Sstt…diamlah, rasa aman yang sedang dibutuhkannya akan diberikan oleh kesempurnaan jawabannya, logikanya pun membela. Sayangnya, ucapan yang menurutnya paling realistis dan  tersempurna secara teoritis, pada akhirnya membunuhnya perlahan, melumpuhkan hati dan pikirannya. SKAK MAT.  Beliau berhasil menancapkan paku itu ke dalam ulin yang begitu keras bahkan tanpa  alat  sekalipun. Kemudian tamparan bertubi - tubi itu datang  membuatnya diam seribu bahasa. Begitu mudah memang, karena ulin itu tak seperti kelihatannya, begitu rapuh. Seakan tak terjadi apa – apa padahal  dunia runtuh seketika di matanya. Tak bergeming. Hanya senyuman palsu yang menemani suara jantungnya yang berdetak semakin cepat. Apa yang terjadi dengan dadanya ? Sungguh, bekasnya mampu mengeluarkan sampah – sampah tak berguna. Tak mungkin…sudah lama dia tak mendengarnya, barisan huruf  itu. Kenyataannya barisan huruf itu selalu datang dan menghantuinya. Lagi – lagi barisan huruf  itu yang berhasil mengorek – orek semua torehan  yang hampir menguap. Tak adil memang, karena kenyataannya pemilik barisan huruf itu  sama sekali tak mengerti apa – apa. Dalam kondisi seperti itu, menyalahkan pun bukanlah menjadi sesuatu yang bijaksana. Tetapi, perlukah menyamakan kotak besar itu dengan kotak kecil yang jelas – jelas ukuran dan isinya berbeda. Haruskah kotak kecil memaksakan diri, menggelembungkan dirinya menjadi kotak besar kalaupun kenyataannya si kecil tetaplah si kecil dan si besar tetaplah si besar ?  Kemudian, kutukan – kutukan itu muncul kembali. Kasihan dirinya, kutukan – kutukan  itu  diciptakannya  dan kembali pada dirinya sendiri.  Kini yang tersisa hanyalah ratapan, ratapan tak berdaya dengan tatapan keinginan sebuah tempat beribu damai, semua terbaca dari sinar matanya yang mulai meredup. Lantas, dimanakah lagi tempat seindah surga itu akan dicari?

Allahumma inni a’udzubika minal hammi wal hadzan, wa a’udzubika minal ajzi wa kasal, wa a’udzubika minal jubni wal bukhl, wa a’udzubika min ghalabatiddaini waqahrirrijaal

BACA JUGA :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar