Jumat, 04 Oktober 2013

Dampak Perceraian terhadap Kondisi Psikologis Anak



Belitung Express, Kamis 3 Oktober 2013

Dewasa ini kasus berakhirnya suatu ikatan pernikahan atau biasa disebut dengan perceraian bukanlah lagi menjadi hal yang tabu di kalangan masyarakat. Hal tersebut menjadi makin marak dilakukan, bahkan sudah menjadi hal yang umum di sebagian masyarakat Indonesia. Kalaupun dulu kasus ini masih begitu jarang dan masyarakat menganggap perceraian merupakan sesuatu yang memalukan, tidaklah untuk saat ini. Buktinya angka perceraian di Indonesia terus meningkat drastis di tiap tahunnya.  Tak hanya usia pernikahan yang masih seumur jagung saja yang bercerai, pasangan yang sudah menikah puluhan tahun pun juga cukup banyak yang mengajukan gugatan perceraian. Bahkan menurut Badan Urusan Peradilan Agama ( Badilag ) Mahkamah Agung ( MA ) mencatat selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70 persen. Berbagai macam faktor pun turut mendasari adanya kasus tersebut. Di antaranya yaitu ketidakharmonisan rumah tangga ,  tidak adanya tanggung jawab, maupun faktor ekonomi. Semua itu dapat melatarbelakangi maraknya perceraian yang terjadi di masyarakat.
Sayangnya kemudian terkadang para orang tua menjadi lupa bahwa perceraian tidak hanya menyangkut kedua belah pihak saja, suami dan istri. Adapun anak – anak yang menjadi bukti cinta kasih pasangan dan merupakan amanah yang diberikan Tuhan kepada orang tua untuk dirawat dan diberi kasih saying, menjadi terkena pengaruh dari adanya kasus ini.  Orang tua kemudian demi kepentingannya pribadi menjadi egois untuk kemudian mengambil keputusan saling berpisah tanpa memperhatikan dampak yang terjadi kepada anak – anak mereka. Terlebih lagi  untuk anak – anak usia dini yang masih perlu belaian kasih saying dan begitu tergantung dengan orang tuanya, hal tersebut tentu baik disadari ataupun tidak akan mempengaruhi kepribadian anak. Rasa aman dan kehangatan keluarga yang menjadi kebutuhan dasar mereka, jika tak didapatkan akan begitu berpengaruh dalam kehidupannya baik semasa anak – anak maupun setelah dewasa. Walaupun kadangkala, perceraian merupakan satu – satunya alasan untuk kehidupan yang baik di antara kedua belah pihak, tetapi selalu ada akibat buruknya pada anak, baik secara psikologis maupun secara fisik.
Biasanya perceraian diawali oleh adanya percekcokan rumah tangga yang dibumbui dengan pertengkaran – pertengkaran kecil dalam rumah. Hal ini tentunya akan lebih bijak jika tidak dilakukan di depan anak. Karena ketika  anak melihat orang tuanya sedang bertengkar  hal tersebut akan begitu berpengaruh kepada perkembangan psikologis anak. Anak menjadi merasa tak aman dan tak nyaman dengan keluarganya sendiri. Apalagi untuk anak usia dini yang cenderung akan meneladani orang tuanya sebagai figur yang segala tutur kata dan tingkah lakunya begitu dicontoh. Jika kemudian anak melihat kedua orangtuanya lepas kendali dan bertengkar di depan mereka , akhirnya dia pun bisa jadi akan mencontoh pula menjadi seorang anak yang susah mengendalikan diri . Di sekolah dia dapat menjadi anak yang mudah terpancing emosinya dan suka bertengkar dengan teman sebayanya. Kasus sebaliknya pun dapat terjadi, ketika melihat orangtuanya bertengkar kemudian dia menjadi merasa ketakutan karena tak ada lagi rasa aman dalam keluarganya. Anak akan cenderung membenci salah satu di antara kedua orang tuanya yang dianggapnya bersalah. Rasa benci yang tertanam itulah yang dapat mengganggu jiwanya.  Dalam beberapa kasus ketidakharmonisan hubungan rumah tangga yang berujung perceraian, ada suami yang tega melakukan tindak kekerasan pada istri, membuat si anak yang melihat kejadian tersebut menjadi takut kepada ayahnya sendiri, seseorang yang seharusnya dapat menjadi seorang tokoh yang dekat dan menjadi panutannya. Hal tersebut dapat mengakibatkan adanya ketakutan tak mendasar yang mengganggu kehidupan psikologisnya. Rasa aman tak didapatkannya dan dia menjadi cenderung tak dapat mempercayai satu pun orang di dunia ini karena keluarga yang dekat dengannya saja tak sesuai dengan kondisi keinginannya. Karena itu para orang tua harus berhati – hatti dan memikirkan akibat yang ditimbulkannya kepada anak ketika bertengkar di hadapan mereka.
Banyak pula kasus yang terjadi yaitu ketika anak bermasalah di sekolah, tak dapat dikontrol dan tak mau menurut ternyata setelah ditelaah lebih lanjut ada permasalahan pada latar belakang keluarganya. Biasanya kasus perceraian ini juga merupakan contoh kasus yang banyak ditemukan di kalangan masyarakat. Apa yang dapat mengakibatkan anak – anak itu menjadi begitu bermasalah ? Jawabannya adalah keegoisan para orang tua yang sibuk sendiri, memikirkan masalah pribadinya, lupa bahwa ada anak – anak yang menjadi tanggung jawabnya. Tanpa disadari anak – anak tersebut menjadi terbengkalai, kurang dipedulikan oleh mereka sehingga mereka menjadi lepas control dan suka mencari perhatian dengan cara – cara yang salah. Di antaranya dengan menjahili teman – temannya, senang berkelahi bahkan yang lebih parah sampai pada kasus – kasus kriminal yang dilakukannya. Hal tersebut sebenarnya upaya mereka supaya diperhatikan oleh orang tuanya. Selain itu ketika kemudian anak menjadi lepas control yang diakibatkan orang tuanya tenggelam dengan masalahnya sendiri, menjadikan anak tersebut tak dapat diatur  karena tak ada yang mengingatkan ketika mereka berbuat kesalahan dan tak ada yang memuji mereka ketika berbuat baik. Hal tersebut begitu berpengaruh bagi kehidupan mereka di rumah maupun di sekolah. Di sinilah peran guru sebagai sosok pengajar, pendidik dan pemimpin harus lebih bisa sabar menghadapi anak – anak semacam itu dan kalau bisa memberikan solusi yang begitu bijak sebagai orang tuanya di sekolah supaya masalah tersebut tidak mempengaruhi siswa.
Dampak yang diterima oleh anak ternyata terjadi tak hanya ketika pertengkaran membumbui pra-perceraian ataupun sampai pada tahap perceraian saja. Tetapi lebih dari itu, setelah orangtua bercerai seorang anak biasanya harus memilih salah satu di antara kedua orang tuanya, apakah akan ikut dengan ayahnya atau ibunya. Untuk anak yang telah cukup umur hal tersebut bisa menjadi keputusannya sendiri karena mereka sudah cukup dewasa untuk memutuskan mana yang akan menjadi pilihan hidupnya. Tetapi berbeda pula dengan anak – anak dengan usia dini. Anak – anak dengan usia yang belum dewasa masih belum terlalu mengerti dengan perceraian itu sendiri, untuk memutuskan pun mereka belum sanggup. Ikut ibu atau ikut ayah? Hal ini bisa menjadi dampak psikologi negatif juga untuk para anak karena mereka tak akan tahu keputusan mana yang terbaik untuk mereka sehingga mereka akan berada dalam kondisi terjepit, dilemma yang belum waktunya. Pada beberapa kasus, ketika dia juga mengikuti salah satu orang tuanya, ayahnya atau ibunya, bisa jadi mereka akan menjadi tidak diterima atau diabaikan oleh yang lainnya. Hal itu tentunya akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak. Karena yang dibutuhkan mereka adalah keluarga bahagia  yang lengkap yaitu, ayah dan ibu.
Kemudian ada yang menyanggah, toh tak jadi masalah, bisa jadi ayah dan ibu kandungnya kemudian menikah lagi dengan orang lain. Anak yang saat itu ikut pada salah satu keluarganya saja akan mendapatkan sebuah keluarga baru. Hal ini bisa jadi baik ataupun tidak. Kalaupun ibu tiri atau ayah tirinya mempunyai kepribadian baik dan menganggap anak tersebut sebagai anaknya sendiri, hal tersebut menjadi berita bagus karena itu berarti sosok ibu dan ayah ataupun keluarga yang diimpikan bisa jadi terpenuhi. Tetapi bisa jadi kasusnya menjadi lebih miris, ketika ibu ataupun ayah tirinya tidak menerima keberadaan dirinya. Anak diperlakukan secara tidak adil dalam keluarga, membuat anak merasa terpojok dan menjadikan kondisi psikologis anak semakin buruk. Anak merasa kesepian dan kosong di tengah kehangatan keluarga orang tuanya. Apalagi kemudian ketika ada saudara tiri yang lebih disayang oleh keluarga barunya. Hal tersebut akan membuat sedih dan frustasi sang anak. Anak merasa tak dipedulikan dan kemudian kelakuannya menjadi bisa jadi tak terkendali ataupun tertekan.  Kasus seperti itu pun kerap kali ditemukan di masyarakat.
Anak, terutama untuk anak usia dini ataupun yang masih remaja   memerlukan perhatian dan kasih sayang lebih oleh orang tuanya. Semua tingkah laku dan kepribadian anak bisa jadi dia teladani dari orang tua sebagai sosok yang paling dekat dengannya. Sosok yang menemaninya mulai sejak dia membuka mata dan menghirup udara segar dunia. Karena itu untuk para orang tua seharusnya bisa lebih bijaksana dalam bertutur kata, bertingkah laku ataupun mengambil keputusan. Kalaupun toh perceraian merupakan satu – satunya jalan yang harus ditempuh karena itu dianggap dapat membuat kehidupan menjadi lebih baik, perhatian kepada anak seharusnya tak boleh berkurang. Berikan perhatian besar sama halnya dengan perhatian yang diberikan ketika dia lahir, berikan pengertian secara jelas mengenai keputusan yang diambil dan alasan – alasan yang dapat dimengerti anak. Jangan sampai anak merasa terabaikan, tak nyaman dan merasa kehilangan keluarga yang merupakan lingkungan terdekatnya. Karena itu semua akan mempengaruhi kehidupan sang anak. Kondisi jiwa dan psikologis yang berdampak pada kepribadiannya ditentukan oleh bagaimana lingkungan di sekelilingnya.  Semua itu hendaknya harus dipikirkan matang – matang oleh para orang tua.

BACA JUGA :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar