Jumat, 25 Oktober 2013

Headache Attack





Seharusnya makhluk itu memiliki delapan abjad dengan kemurnian jiwa mereka. Seharusnya. Tetapi  apakah benar begitu halnya ? Mengapa segalanya lebih mendekati makhluk bertanduk yang terbuat dari api membara.  Manusia itu mengelus – elus dadanya pelan mencoba mengendalikan hidupnya. Mendadak seperti ada yang membenturkan kepalanya ke tembok bangunan yang mustahil akan runtuh. Semua aliran darah dalam tubuhnya mengalir deras menuju otaknya. Kemudian dia mengerjap – kerjapkan matanya  yang mulai berkunang – kunang dengan cepat, kabur secara penglihatan tanpa alasan yang pasti. Jantung manusia itu pun mulai memompa dirinya dengan penambahan kecepatan tak stabil sedangkan nafasnya tak ayal menjadi tersengal – sengal. Serangan mendadak. Begitu luar biasa indikasi dari semua hal yang makhluk itu lakukan.  Andai saja dia mampu menelurkan bom atom dari dalam tubuhnya, mungkin dia telah meledakkan semuanya detik itu juga tanpa aba - aba. Sayangnya, yang dapat dia lakukan hanya terdiam memandangi mereka, mencoba menutup mata hatinya menghilangkan kenyataan dengan harapan semua yang dijalaninya hanyalah mimpi di siang bolong. Percuma, setelah lebih dari cukup ba-bi-bu yang dia keluarkan hanyalah seperti orang  membuang sampah di sungai yang alirannya entah kemana akan bermuara. Betapa lelahnya  terbuang percuma tanpa ada faedah yang tampak. Hufhh….apa arti ini semua, ujarnya dalam hati. Apakah ada sesuatu yang tak pada tempatnya ataukah ini hanya segelintir ujian kehidupan. Repetisi kejadian hampir terjadi setiap waktu dan efek yang terjadi pada pola pikirnya  terpengaruh oleh situasi di sekitarnya….yaa jangan salahkan dia. Hawa lingkungan yang membuatnya seperti itu. Manusia itu mulai lelah…kemana jawaban dari seuntai permohonan yang diucapkannya setiap waktu, mengapa balasan itu belum kunjung tiba di peraduannya , keluhan yang tak disengaja akhirnya terpaksa dikeluarkan kalbunya. Diperlukan kesabaran  ekstra untuk menghadang itu semua. Dia kembali memutar otaknya sambil melihat makhluk – makhluk entah apa itu di hadapannya. Betapa teori itu begitu sempurna dibandingkan kenyataan yang ada. Semuanya seperti rel yang berbeda jalur, berbeda arah dan tujuan. Apakah ada kasus – kasus tak kasat mata yang tak diketahui olehnya.  Keruwetan merajai isi  kepalanya yang semakin lama semakin membuat isi itu mendidih. Sungguh, aku dulu tak seperti itu, katanya. Jauh bahkan dari itu. Apakah dimensi tempat dan waktu telah mengakibatkan perubahan yang luar biasa signifikan. Mengapa gap kesenjangan itu ada dan hasilnya relative tinggi. Entah apa yang harus dilakukannya. Sekelabut pikiran dan bisikan untuk menyerah  menjadi salah satu prioritas selanjutnya, tetapi apakah semua masalah akan selesai dengan satu – satunya jalan yang dapat ditemuinya. Biarlah ego ini lumpuh asalkan mereka dapat menjadi lurus, katanya. Tetapi ada bagian hati itu di mana ego bersemayam yang mengatakan hal berbeda, itu berarti kamu kalah. Kamu seorang pecundang yang dengan mudah dapat dijajah. Tapi….itu demi mereka, bisik hati yang lain. Tak berawal tak berakhir pertentangan itu.  Sudahhhh……Cukuplah semua…..Emosi itu tak tertahankan mendengarkan pergulatan antara setengah hatinya.  Sudah lama semua kewibawaan itu hancur. Sungguh menyakitkan kenyataan yang ada. Menyerah sajalah. Dia harus mulai menyelidiki lagi. Apakah benar halnya impianya sudah sejalan dengan kapabilitasnya. Jika tidak, kembali ke titik nol bisa menjadi alternative lain, tetapi bagaimana mungkin garis waktu itu ditarik ke belakang. Kalaupun harus menyerah saat itu, pastilah hatinya akan menangis. Menangis sejadi – jadinya karena keinginan itu telah menjadi bagian dari hidupnya. Tetapi dibandingkan dengan merusak apa yang menjadi tanggung jawabnya, sepertinya jalan itu terdengar lebih baik. Kemudian jalan manakah yang  harus dia tempuh? 



- 251013 -

BACA JUGA :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar