Kamis, 26 September 2013

Welcome Belitung Island ( PART 2 )


Baiklah…melanjutkan cerita yang telah lama terputus tentang kisahku di negeri Laskar Pelangi ( baca juga Welcome Belitung Island ). Bagi yang belum tahu, Laskar Pelangi merupakan nama lain dari  pulau Belitung yang terletak di sebelah timur pulau Sumatra.  Tempat ini memang menjadi kediaman baru bagiku dan banyak pelajaran yang bisa aku dapatkan di sini. Begitu banyak hal, utamanya yaitu belajar untuk mengenal dunia baru yang berbeda dari sebelumnya. Walaupun aku adalah perantau sejati sejak dulu, tetapi hanya sampai pada ngublek – ngublek seputaran pulau Jawa dan sekitarnya. Di sinilah tempat baru yang aku huni, dengan pulau yang berbeda,  bahasa  berbeda, kebudayaan yang berbeda, plus karakter orang yang berbeda pula. Ternyata dunia tak selebar daun kelor. Ketika kita memasuki tempat baru, kita akan semakin menyadari dengan adanya keanekaragaman yang membuat kita harus bisa belajar lebih bertenggang rasa, saling memahami satu sama lain. Orang – orang Belitung, yang masih masuk dalam kawasan pulau Sumatra memiliki watak yang berbeda dengan orang Jawa. Bisa dikatakan orang Jawa lebih halus dari berbagai macam sudut.  Orang Sumatra memiliki karakter yang lebih terbuka dan blak – blakan dibanding orang Jawa yang cenderung menyimpan. Tetapi itu hanyalah dugaan secara umum, pada kenyataannya semuanya kembali kepada sifat dan kepribadian orang masing – masing. Dari segi bahasa juga cukup butuh waktu  untuk aku dapat memahami bahasa mereka. Tak terlalu susah sebenarnya, karena bahasa yang dipakai adalah bahasa Melayu, hampir mirip – mirip bahasa Indonesia. Hanya kalau mereka sudah berbicara terlalu cepat, aku pun jadi sukar memahaminya. 
Sebenarnya aku cukup heran ketika awal ditempatkan. Aku ditempatkan di suatu tempat yang tak dapat sama sekali disebut pelosok. Justru aku dapat penempatan di kota. Hal tersebut sempat menjadi pertanyaan besar bagiku, aku begitu berbeda dengan teman – teman yang lain yang ditempatkan di daerah terpencil,  apa yang dibutuhkan oleh sekolah yang bahkan sudah ada di kota, dengan akses yang bisa dikatakan tak cukup sulit dibandingkan dengan yang lain. Mengapa sekolah penempatanku sekarang menjadi salah satu sekolah yang dirasa butuh bantuan sedangkan dari segi fasilitas semua terasa tak ada masalah? Akhirnya ketika sampai disini dan telah menjalankannya aku pun menemukan jawabannya, bahwa materi dan fasilitas bukanlah segalanya. Tak ada sekolah di Belitung ini, walaupun toh di desa-nya sekalipun yang buruknya menyamai sekolah – sekolah di Jawa. Sejauh apapun dan seterpencil apapun sekolah - sekolah di pulau ini, fasilitas apapun rasanya sudah terjamin oleh dinas pendidikan. Seharusnya jika dilihat secara kasat mata, pendidikan di sini bisa lebih maju dibandingkan dengan sekolah – sekolah di Jawa.  Lantas apakah yang salah dengan itu semua ?
 Aku ditempatkan di SD Muhamadiyah. Kalau di Jawa rasanya nama ini sudah tak asing lagi karena saking terkenalnya dan banyak cabang di mana – mana. Nama SD Muhamadiyah Belitung menjadi sejarah tersendiri karena sekolah ini diceritakan khusus di sebuah novel karya Andrea Hirata yaitu Laskar Pelangi yang menjadikan pulau ini semakin tersohor namanya. Banyak orang bertanya, apakah aku ditempatkan di sekolah itukah, seperti yang ada dalam novel? Jawabannya adalah tidak. Sekolah SD Muhamadiyah yang diceritakan dalam novel sudah lama tak ada dan letaknya di wilayah Gantung, Kabupaten Belitung Timur, yang tertinggal hanya replikanya yang dibuat sebagai lokasi syuting film Laskar Pelangi. 
Sebagai gantinya, SD Muhamadiyah yang ada saat ini dan satu – satunya di pulau Belitung, yaitu di tempatku berada,  di kawasan Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung. Sekolah ini pun baru beberapa tahun berdiri. Ketika aku pertama kali datang ke tempat ini, sekolah ini baru akan meluluskan angkatan pertamanya. Untungnya tak seperti dalam cerita, aku pun tak perlu untuk mencari – cari murid baru sebanyak minimal 10 orang supaya sekolah ini dapat bertahan. Hehe….Buktinya sekolah ini cukup banyak diminati walaupun toh harus bersaing dengan sekolah – sekolah negeri.
Sekolahku SD Muhamadiyah Tanjungpandan bergabung satu lokasi dengan beberapa sekolah lainnya yang masih dalam naungan yayasan Muhamadiyah, di antaranya PAUD, TK Aysiyah dan SMP Muhamadiyah. Aku sendiri tinggal di dalam sekolah dengan beberapa penghuni lain di sebelah kamarku. Seperti kamar kos – kosan lah. Setiap kumembuka pintu kamarku pemandangan yang kulihat adalah prosotan besar berbentuk keong raksasa milik sekolah TK, sementara di pinggirnya ada ayunan, jungkat - jungkit dan mainan – mainan anak TK  yang tak jarang dipakai pula oleh anak – anak SD bahkan SMP. 
Selain keong raksasa tersebut, pemandangan lain yang kulihat adalah hamparan pasir putih yang merupakan lapangan sekolah. Itulah cirri khas sekolah – sekolah di Belitung. Di lapangannya pun tanahnya berupa pasir putih. Aku tinggal di kawasan Muhamdiyah. Tak hanya sekolah saja yang ada di sekitarku. Di depan sekolah, terdapat panti putra Muhamadiyah dan panti jompo Muhamadiyah sementara di sebelah sekolah ada panti putri Muhamadiyah yang semua siswanya bersekolah di sekolahku. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri untukku karena tak begitu mudah mendidik anak – anak panti itu. Ketika pada umumnya panti diidentikkan dengan suatu tempat penampungan anak – anak yang tak memiliki ibu dan ayah, tetapi berbeda halnya dengan di sini.  Sebagian besar anak panti adalah anak yang masih memiliki keluarga, tetapi menjadi tak terurus karena permasalahan keluarga. Yaa…maraknya kawin cerai yang mengakibatkan anak menjadi korban,  broken home, begitulah istilahnya. Sang ayah menikah lagi dengan orang lain dan sang ibu menikah lagi dengan orang lain pula, yang kemudian anak menjadi kurang perhatian dan kurang kasih sayang. Jadilah anak anak tersebut sebagai sosok anak yang tak dipeduikan, suka mencari perhatian, bahkan di sekolah perlu kesabaran ekstra tinggi untuk mendidik anak – anak tersebut karena  mereka sering menjadi tak terkendali. Bukan hanya anak panti saja, tetapi begitu banyak kasus broken home ini yang terjadi pada sebagian siswaku di sekolah, yang hanya membuatku geleng – geleng kepala untuk mendidik mereka. Mereka begitu susah diatur dan selalu mencari perhatian dengan keisengan – keisengan yang mereka perbuat,  yang terkadang membuat siapapun menjadi kesal. Semuanya dapat menjadi pelajaran yang berharga, bahwa begitu besar peran dan pengaruh keluarga utamanya orangtua terhadap anak. Tak heran guru – guru di sini semua selalu bersikap keras, karena hanya itulah menurut mereka jalan satu – satunya supaya mereka  patuh. Tetapi apakah benar begitu halnya? Itulah tantangannya. Mengapa aku ditempatkan di tempat ini? Semuanya terjawab sudah.
To be continued

BACA JUGA :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar