Sabtu, 14 September 2013

Ikbal Versus Teguh




 Siang itu sang surya tengah berdiri tepat di atas kepala manusia normal, udara Pulau Belitung yang memang  panas akibat kondisi geografis daerah pantai, menjadi semakin panas. Saat itu pukul 12 siang, siswa – siswi  di sekolahku mengajar baru saja selesai mengerjakan shalat dhuhur berjamaah. Mereka pun bersiap – siap pulang, melepas lelah di rumahnya masing – masing setelah seharian menuntut ilmu di sekolah. Terkecuali siswa - siswi kelas 6 yang kemudian tetap di sekolah, beristirahat menunggu les tambahan sebagai suplemen tambahan ilmu pengetahuan mereka. Hari ini tugaskulah yang mengajar mereka. Aku memberikan mereka waktu untuk istirahat sejenak mengisi energy mereka dengan makan siang dari bekal mereka masing – masing. Setengah jam kemudian  tiba saatnya aku harus menunaikan tugasku, aku berjalan menuju ke ruang kelas. Tiba - tiba terdengan suara ribut – ribut dari arah ruangan kelas 6. Ada apakah gerangan? Aku memasuki ruangan itu dan mendapati dua orang siswaku tengah berkelahi dengan liar. Teman – teman yang lain hanya menonton, antara bingung dan takut untuk melerai mereka. “ Ada apa ini?” tanyaku pada mereka. Mereka hanya diam saja, sementara Teguh yang sedang emosi  tak mengacuhkan  keberadaanku, dia terus menerus memukuli Ikbal dengan tangannya. “ Stop !! Stop!! Berhenti!!” Perintahku. Kupegang erat – erat tubuhnya supaya tak dapat menyakiti temannya lagi. Matanya melotot marah sambil berkaca – kaca dan nafasnya tersengal – sengal tanda emosi yang tak tertahankan. “ Sudah Teguh…Sudah…Ceritakan kepada ibu apa yang terjadi, “ tanyaku sambil berusaha menenangkannya. Dia kemudian berbicara tak jelas saking emosinya, yang kedengar hanyalah beberapa patah kata, “ Ikbal …jarum…badan …tusuk, “ Aku mencoba meraba – raba maksudnya, sepertinya temannya yang bernama Ikbal iseng menusuk – nusukkan jarum ke tubuhnya. “ Apa benar itu Ikbal?” tanyaku kemudian kepada anak yang juga tak kalah emosinya “ Siapa Bu…Bukan saya..Saya dari tadi tidak memegang apa – apa” katanya berkelit. “ Bohong Bu!!!!” Teguh mulai tak dapat mengendalikan diri lagi mendengar jawaban Ikbal, berusaha melepaskan diri dari peganganku. Ikbal memang siswa yang suka iseng dan sering berbuat ulah di kelas. “ Ikbal jawab ibu dengan jujur, apa benar kamu yang melakukannya. ‘ “ Tidak Bu. Lihat ini saya tidak bawa apa – apa. Mana jarum saja saya tak punya. “ Teguh mulai emosi melihat Ikbal selalu membantah. Dia berhasil melepaskan diri dari peganganku berlari ke belakang kelas, mengambil kayu yang entah dari mana asalnya tiba – tiba ada di dalam kelas, siap memukulkan benda tersebut kepada Ikbal. “ Teguh !!!!” teriakku “ Jangan !!!!
. Ikbal berlari menghindari Teguh. Aku tak dapat mengimbangi lari mereka yang sangat gesit. Untung kemudian ada seorang anak yang dapat menangkap Teguh, menahannya untuk berlari. Ikbal merasa perlu mempertahankan diri dan berusaha membalas Teguh, dia tiba – tiba mengangkat kursi di depannya bersiap dilemparkan pada Teguh. Aku benar – benar panic waktu itu. Untungnya aku berhasil menangkap Ikbal dan memegangi tangannya untuk tidak melakukan hal – hal yang tidak diinginkan. Teguh berlari ke luar kelas, duduk terdiam di pinggir lapangan sambil menangis.
Anak – anak kelas 6, mereka bukan – anak – anak lagi. Mereka adalah anak – anak yang sudah menjelang remaja dengan keadaan emosi yang sangat labil. Mereka mudah tersulut emosinya dengan ego yang begitu tinggi. Tak mudah memang menghadapi anak – anak di masa seperti itu, dan aku tahu inilah saatnya aku diuji.  Aku mendekati Teguh menenangkannya, “ Sudah Teguh..tak apa – apa. Tenang dulu ya. Ceritakan dulu secara jelas kejadiannya seperti apa. Dia diam saja matanya memerah seperti hendak menangis. Tiba – tiba Ikbal datang mendekati, “ Saya tidak bawa apa – apa Bu. Saya tadi bawa jarum tapi sudah saya buang, “ “ BOHONG!!!” Teguh berteriak. “ Sudah….sudah …” aku berusaha menengahi mereka. Sementara aku bingung bagaimana harus bersikap. Aku tak tahu pasti bagaimana kejadiannya karena aku memang tak melihat kejadiannya secara langsung. Si tersangka, Ikbal pun tak mau mengaku jika memang dia yang bersalah. Anak – anak lainnya pun berkata tak tahu menahu tentang kejadian tersebut.” Sudahlah Teguh, “ kembali aku menenangkan anak itu “ Nanti kita selesaikan masalahnya ya. Sekarang kita masuk kelas dulu yuk. Kasihan kawan – kawanmu seudah menunggu dalam kelas. Ayo!!, “ ajakku. Dia tetap tak bergeming tetap duduk di pinggir lapangan. “ Baiklah Teguh mau masuk kelas tidak? “ Dia menggeleng dan terdiam. Sementara itu anak – anak sudah menunggu di dalam kelas dengan bosan, “ Kapan Bu lesnya dimulai? “ Tanya mereka. Aku tak bisa terus menerus menemani Teguh di luar sementara segala macam bujukan telah aku lontarkan tapi dia tetap tak mau masuk. “ Baiklah Teguh “ kataku akhirnya menyerah “ Kalau kamu tetap tak mau masuk, ibu tak akan memaksa. Kalau kamu merasa ingin pulang pulanglah. Mungkin dengan itu kamu akan merasa lebih baik. “ Dengan terpaksa aku meninggalkannya sendiri masuk ke dalam kelas.  Baru saja aku akan memulai pelajaranku, tiba – tiba aku dihadapkan pada kehadiran seorang pria separuh baya yang mendekati kelas 6 kelas. “ Bapak Teguh…bapak Teguh…” anak – anak di dekat jendela yang mengintip mulai berbisik – bisik panic.  Kelas 6 yang biasanya ricuh dan berisik menjadi diam seketika.
“ Maaf Bu minta waktunya sebentar dengan anak – anak, “ kata bapak itu tanpa senyum dengan ekspresi muka yang menunjukkan emosi marah sedangkan aku sendiri tak sanggup menahannya.
“ Kalian ini sekolah mau jadi preman ya. Kalau mau jadi preman tempatya di pasar, bukan di sekolah, “ teriaknya tegas kepada anak sekelas. Kelas menjadi hening seketika “ Kalian tahu, kalau kalian menyakiti anakku, itu sama saja dengan menyakitiku. Kalau berani kalian apa – apakan anakku maka hadapi aku. “Cukup lama bapak itu menceramahi anak – anak sedangkan aku sama sekali tak dapat memotong kata – katanya. Aku sadar betul beliau tengah melepaskan emosinya. Setelah puas menceramahi anak – anak kemudian berkata kepadaku, “ Maaf Bu. Tolong nanti sampaikan kepada bapak kepala sekolah. Kejadian seperti ini memang beberapa kali dialami anak saya. Bapak kepala sekolah pernah mengatakan kepada saya, sekali lagi anak saya melapor atas kejadian di sekolah kepada orang tua maka anak saya akan dikeluarkan. Sekarang terserah kepala sekolah mau mengeluarkan anak saya atau bagaimana. “ kata bapak itu. Kemudian dia menoleh pada anaknya yang saat itu hanya berdiri di pinggir tembok dengan muka merah sambil terisak , “ Sudah Guh…saat ini kita pulang saja. Tidak usah les. Seminggu ini kita tak usah masuk sekolah saja, “ katanya pada anaknya yang hanya diam saja tanpa berkata apapun. “ Terima kasih, Bu, “ kata bapaknya lagi kemudian pergi meninggalkan kelas.  Pikiranku terasa panas waktu itu, bingung dengan kejadian yang telah terjadi. Kulihat anak – anak juga hening, wajah mereka terpancar ketakutan.
“ Baiklah anak – anak, “ kataku kemudian memecah kesunyian “ Ada yang dapat menjelaskan kejadian yang sebenarnya ?” tanyaku pada mereka. Semua hanya diam tak bergeming.
“ Ikbal, “ ujarku pada siswa yang terlibat perkelahian itu “ Tolong jelaskan pada ibu. “
“ Apa …saya tidak melakukan apa – apa, Bu. Sumpah. Saya tidak tahu siapa yang melakukannya, “ ujarnya membela diri.
“ Lalu kalau bukan kamu siapa yang melakukannya?”
“ Tak tahu Bu. Tadi saya memang main jarum tapi sudah saya buang. “
“ Mengapa kamu main – main jarum. Jarum itu benda tajam dan bisa melukai kawanmu. Kamu mengerti itu kan? “ nasihatku.
“ Saya Cuma main – main, Bu. “ katanya “ Tapi saya tidak menusukk – nusuk ke Teguh “
“ Jadi siapa yang mau bertanggung jawab, “ kataku pada seluruh siswa. Aku sedikit kesal karena tak ada satupun dari mereka mau berkata jujur. “ Kalau tidak ada yang menusuk Teguh, tidak mungkin dia menjadi begitu marahnya. “
“ Baiklah Ikbal, “ kataku akhirnya “ Sudah siapkah kamu besok menghadapi Kepala Sekolah. Bersiaplah kalau – kalau ayah Teguh akan menuntutmu. Ibu hanya ingin kamu dan yang lain berkata jujur, karena kebenaran itu pada akhirnya pasti terungkap. “ Dia diam, mukanya menunjukkan raut wajah antara bingung dan takut.
“ Oke anak – anak, karena keadaannya sekarang kurang kondusif untuk belajar, lebih baik sekarang kalian pulang saja, belajar di rumah ya. “ Aku membatalkan tambahan pelajaran hari ini karena semuanya seperti sudah lepas konsentrasi, begitu pula denganku. Semua pun mengemasi barang – barangnya kembali untuk pulang ke rumah. Aku menghela napas panjang menenangkan diri, entah apa yang harus kuperbuat.
***
Sore harinya beberapa siswa mendatangiku untuk minta les pribadi
“ Ayolah Bu. Tadi kita kan tidak jadi belajar, sekarang kita belajar ya Bu, “ bujuk mereka. Aku tak tega melihat tampang mereka yang haus akan ilmu pengetahuan, walaupun suasana hatiku masih tak karuan, terbayang akan kejadian tadi siang yang belum selesai. Tetapi melihat semangat anak – anak itu aku pun luluh.
“ Baiklah anak – anak, ayo kita belajar di perpustakaan ya, “ kataku kemudian sambil tersenyum pada mereka.
“ Yee….” Sorak mereka gembira.
Sekitar satu setengah jam lamanya aku membagi ilmu kepada mereka. Tak terasa hari sudah lumayan sore, mereka hendak pulang ke rumah yang kemudian tiba – tiba terlintas sebuah ide dalam otakku
“ Iwan tunggu, “ kataku pada salah seorang siswaku. Dia yang sudah akan mengayuh sepedanya terhenti mendengarku memanggilnya.
“ Ada apa, Bu? “
“ Kamu tahu rumah Teguh berada ?” tanyaku
“ Iya, Bu aku tahu. Rumahku dekat dengan rumahnya, “ jawabnya.
“ Antar ibu ke sana ya. Ibu ingin bertemu dengan orang tuanya, “ kataku.
“ Baik Bu. “
Kemudian aku mengikuti Iwan yang menuju ke rumahnya sembari melewati rumah Teguh diantarkan oleh beberapa siswa kelas 6 yang tadinya membujukku untuk ikut bersamaku. Sepanjang perjalanan aku berpikir, aku tak mau ada siswaku yang akan keluar dari sekolah ataupun harus tak sekolah dalam beberapa minggu. Ini akan menyia – nyiakan kesempatan mereka untuk mencari ilmu, apalagi harus tak masuk seminggu, mereka akan ketinggalan pelajaran sementara mereka sudah kelas 6. Aku harus mempertahankan keberadaan mereka di sekolah. Jarak rumah mereka dari sekolah ternyata cukup jauh , sekitar setengah jam berjalan kaki, luar biasa anak – anak ini setiap hari harus berjalan begitu jauhnya ke sekolah, batinku.
“ Ini, Bu rumah Teguh, “ ujar Iwan membuyarkan pikiranku.
“ Iya baiklah. Terima kasih Iwan. “
Aku mengetuk pintu rumah sederhana dengan tembok bercat abu – abu tersebut.

“ Assalamualaikum, “ aku mengucakpakan salam.
“ Wa’alaikumsalam, “ keluarlah bapak Teguh dari dalam rumah. Beliau kemudian mempersilakanku masuk ke dalam. Aku dan anak – anak lain kemudian duduk di ruang tamu rumahnya.
“ Maaf, Pak mengganggu, “ kataku.
“ Iya tidak apa – apa Bu. “
“ Mengenai masalah tadi, saya mohon maaf ya Pak karena saya tidak bisa mengontrol anak – anak. Tolong juga maafkan Ikbal,  dia memang suka cari perhatian di kelas karena ibunya sudah tidak ada, jadi tak ada yang mengurusnya. Sebenarnya dia memang suka mencari perhatian. Dia tidak bermaksud menyakiti siapa – siapa kok, Pak hanya iseng saja. Biasalah anak – anak, “ jelasku.
“ Iya Bu. Saya yang minta maaf. Seharusnya saya juga tahu kalau anak saya ini juga bandel dan juga suka membuat masalah di kelas. Jadi tidak bisa menyalahkan dari satu sisi saja. “
 “ Iya Pak. Saya tidak mau Teguh tidak masuk sekolah. Tadi bapak bilang Teguh tidak usah masuk seminggu, itu akan membuatnya ketinggalan pelajaran. “
“ Saya juga sudah berpikir mengenai itu juga Bu. Ibunya Teguh juga tidak mengijinkan kalau  Teguh tak masuk sekolah, “ jelas bapaknya “ Sudahlah Guh, besok kamu sekolahlah, jangan membuat masalah lagi di sekolah. Ini sudah yang ketiga kalinya kamu memanggil bapak atas masalahmu di sekolah. Belajarlah benar – benar tak usah banyak bermain, “ pria itu menasihati anaknya. Teguh yang duduk di sebelah ayahnya hanya diam. Aku lega. Tak akan ada siswaku yang tidak sekolah. Setelah lama bercakap – cakap tentang banyak hal dengan orang tua Teguh, kami pun pulang.
***
Kebenaran selalu terungkap, itulah fakta yang terjadi dalam kehidupan. Keesokan harinya entah darimana bapak kepala sekolah mengetahui kejadian tersebut. Bapak kepala sekolah tempatku mengajar cukup tegas. Saat itu aku sedang mengajar di kelas 6 dan datanglah pak kepala sekolah ke kelasku.
“ Siapa yang orang tuanya kemarin ke sekolah, “ tanyanya tegas.
Teguh mengangkat tangannya takut - takut.
“ Kamu …dulu sudah bapak peringatkan, sekali lagi kamu memanggil orang tua ke sekolah kamu akan bapak keluarkan.  Urusan sekolah bisa diselesaikan dengan guru dan kepala sekolah, seharusnya orangtuamu menemui guru atau kepala sekolah bukannya langsung menghakimi anak – anak. Karena itu sesuai janji bapak dulu, pulanglah kamu. Tak usah sekolah lagi di sini. “
Teguh tertunduk lesu sambil terisak. Dia mengemasi barang – barangnya untuk kemudian pulang. Perasaanku campur aduk tak karuan, aku tak akan membiarkan siswaku dikeluarkan. Apalagi Teguh melakukan semua itu karena dipancing oleh Ikbal, jadi bukan sepenuhnya kesalahannya, itu menurutku. Teguh keluar dari ruang kelas, disusul bapak kepala sekolah yang berjalan menuju kantor. Aku segera menyusulnya di kantor. Di kantor sedang berkumpul guru – guru lain yang tengah duduk memperhatikanku datang.
“ Pak..maaf Pak, “ kataku pada Bapak Kepala Sekolah, “ Jangan keluarkan Teguh Pak, “mohonku.
“ Tidak apa Bu. Memang sudah seharusnya dia keluar dari sekolah. Ini sudah ketiga kalinya dia memanggil orang tua untuk urusan sekolah yang seharusnya dapat diselesaikan oleh guru – guru dan saya sebagai kepala sekolah. “
“ Tetapi waktu itu Ikbal yang sedang iseng  pada Teguh jadi bukan salah dia juga. “
“ Tidak apa Bu. Kalau anak yang senakal apapun saya dapat atasi. Saya tidak pernah berjanji akan mengeluarkan anak yang nakal tetapi saya akan mengeluarkan anak yang membawa orangtuanya ke sekolah untuk masalah yang dibuatnya di sekolah. Seharusnya orangtuanya membicarakannya baik – baik dengan guru dan kepala sekolah untuk diselesaikan, bukannya malah memarahi anak – anak. Itu tandanya orang tersebut tidak menghormat guru dan kepala sekolah yang merupakan orangtua mereka di sekolah, “ pak Kepala Sekolah berargumen padaku.
“ Tapi Pak….” Belum selesai aku berbicara masuklah Teguh didampingi oleh bapaknya. Aku pun menghentikan kata - kataku dan duduk di kursi guru.
“ Jadi Pak, “ kata bapak Teguh pada bapak kepala sekolah “ Apa benar Teguh dikeluarkan?”
“ Iya. Sesuai dengan perjanjian sebelumnya, ini sudah ketiga kalinya Teguh melakukan hal yang sama dan dulu saya sudah ernah ingatkan, sekali lagi memanggil orangtua untuk urusan sekolah maka dia akan dikeluarkan. “
“ Bisa saja Teguh dikeluarkan. Tetapi Bapak harus tahu kalau penyebabnya adalah Ikbal. Dia yang awalnya menusukkan jarum pada anak saya. Saya jelas tidak terima, mungkin hari ini bisa saja dia menusuk – nusuk jarum, kemudian besok dia menusukkan gunting, pisau atau apalah, “ bapak Teguh mulai terlihat emosi. Wajahnya memerah.
“ Baiklah …baiklah…” kata Pak Kepala sekolah menenangkan. Panggilkan Ikbal. Aku segera menuju ke kelas memanggil anak itu. Aku gandeng tangannya, “ Ikbal, kalau kamu ditanya jawablah yang jujur. Kalau perlu minta maaf – minta maaflah, “ kataku padanya dengan lembut. Wajahnya tegang. Kemarin beberapa anak kelas 6 diam – diam sudah mengaku padaku bahwa memang Ikbal yang melakukannya tetapi mereka tak berani mengatakannya. “ Aku tidak melakukannya Bu. Sumpah. Banyak saksinya Bu aku tidak punya jarum, “ katanya terus membela diri. Aku hanya diam. Dia selalu berkelit dari semua fakta yang terjadi, apalagi yang harus kulakukan untuk membuatnya jujur. Di kantor, Ikbal pun duduk begitu pula dengan aku. Bapak Teguh emosi melihat Ikbal
“ Kamu sudah kubilang kalau mau jadi preman ke pasar…jangan di sekolah, “
Bapak Teguh pun menceramahi Ikbal tanpa ada satu pun yang sanggup memotongnya. Tak ayal pula anaknya sendiri kena marah olehnya, “ Kau ini Guh juga. Selalu bikin masalah di sekolah. Di sekolah itu tempat untuk belajar bukan untuk berkelahi. Kamu telah berkali - kali membuat malu orang tua kamu di hadapan guru – guru kamu dan kepala sekolah. Kalau kamu tidak mau menurut juga keluar sajalah dari rumah…”
“ Sudah…sudah…” bapak kepala sekolah menengahi “ Ikbal…apa benar kamu yang menusuk jarum ke Teguh. “
“ Tidak Pak. “ Ikbal tak mau mengaku, dia menyangkal melakukan itu.
“ Sudah ..tak usah bohong, “ bapak Teguh kesal Ikbal tak mau jujur.
“ Sudahlah Pak…” kata Bapak Kepala Sekolah menengahi. Beliau bingung, beliau berkeinginan mengeluarkan Teguh karena konsistensinya dengan janji yang telah dibuatnya. Tetapi jika Teguh keluar, bapak Teguh pasti tak akan meneerima dan menuntut Ikbal dikeluarkan pula dari sekolah. Itu berari aka nada dua orang siswa kelas 6 yang keluar dari sekolah.
“ Baiklah begini Pak, “ kata bapak kepala sekolah yang melihat emosi bapak Teguh yang tak tertahankan, “ Kalau saya sendiri tetap mengeluarkan Teguh karena memang saya tegas terhadap janji yang sudah saya buat. Saya tidak akan mnegeluarkan anak yang nakal tetapi anak yang melapor pada orang tua. Tetapi sekarang saya ingin guru – guru yang membuat keputusan bagaimana seharusnya. Saya akan ambil suara terbanyak.”
“ Bu Nunung, “ katanya pada guru wali kelas 6 “ Bagaimana menurut pendapat ibu. Apa Teguh ini sebaiknya diberhentikan dari sekolah apa tidak?” Bu Nunung hanya menangis, dia tak sanggup mengatakan apapun juga, bingung dengan kejadian yang menimpa muridnya. Kemudian kepala sekolah menanyaiku, “ Saya tidak ingin Teguh dikeluarkan Pak. Seperti yang saya katakana tadi, Teguh emosi karena terpancing oleh Ikbal, walaupun sebenarnya Ikbal hanya iseng saja. Jadi bukan sepenuhnya salah Teguh. “ Kepala sekolah mengangguk.
“ Kalau Bu Lika “
“ Mereka kan sudah kelas 6 Pak dan sudah akan lulus, “ kata Bu Lika, “ Jadi cukup susah mencari sekolah di waktu – waktu ini kalau mereka keluar. Belum tentu ada yang akan mau menerima maereka “
“ Baiklah…” kata Pak Kepala Sekolah akhirnya “ Teguh tidak jadi saya keluarkan. Tetapi lain kali saya tidak mau ada kejadian seperti ini terulang kembali. Kalau ada masalah di sekolah, laporkan dulu pada guru atau bapak kepala sekolah. “
“ Kau juga Ikbal. Jangan sekali – sekali lagi membuat masalh di sekolah, apalagi dengan benda- benda tajam yang membahayakan. “
Aku bernapas lega. Yang terpenting adalah siswa – siswaku tak ada yang keluar dari sekolah. Aku tak akan membiarkan siswaku berhenti dari sekolah ataupun keluar hanya karena masalah sepele. Bapak Teguh pun pulang, Teguh dan Ikbal kembali ke kelas mereka.
“ Aku janji tidak akan melakukannya lagi, Bu, “ kata Ikbal padaku. “ Ibu pegang janjimu Ikbal. Jangan sampai kejaidan ini terulang kembali ya. Kasihan kalau temanmu harus dikeluarkan gara – gara kamu. “
“ Iya Bu, “ kemudian pergi.
Benar – benar pengalaman yang luar biasa yang bisa dijadikan pelajaran hidup, tidak mudah memang menghadapi anak – anak. Perlu kesabaran dan keteguhan hati untuk terus berjuang mendidik mereka dan menjadikan mereka berakhlak yang baik dan berilmu pengetahuan yang tinggi. Semoga Allah senantiasa memberiku kemudaham untuk melakukannya.

BACA JUGA :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar