Rabu, 22 Mei 2013

Pengalaman Pertamaku Mengajar



SD X ( anggap saja seperti itu ) … mungkin akan menjadi tempat yang tak terlupakan bagiku. Di sinilah tempat pertama kali mengajar bagiku yang sebelumnya tak memiliki pengalaman sama sekali. Yaa… minggu ini adalah minggu observasi. Setiap kelompok ditugaskan untuk melakukan observasi di sekolah – sekolah sekitar sini. Kemudian dengan metode undian, ternyata kami dari kelompok Reformasi mendapatkan amanah bersama tim Pelangi untuk melakukan observasi di SD ini . Hmm… perasaanku campur aduk tak karuan. Karena tidak hanya melakukan penilaian saja di hari Rabu, tetapi kemudian di hari Kamis dan Jum’at kami ditugaskan pula untuk praktik mengajar di sekolah tersebut. Apakah aku sanggup, pikirku. Terbersit sedikit keraguan dalam benakku. Tetapi aku mencoba untuk menepis semuanya, menganggap ini adalah proses pembelajaran yang pastinya akan menjadi kenangan dan pengalaman berharga seumur hidup. Yeahhh…here I’am … Let’s start it ..

Rabu, 28 November 2012
Aku bersama timku, Reformasi dan tim Pelangi yang begitu kebetulannya merupakan sesama penghuni Paviliun 6 berjalan bersama – sama menuju TKP. SD X tak  begitu jauh dari asrama kami. Hanya dengan berjalan kaki kami dapat mencapai lokasi tak kurang dari 10 menit. Hmm …Dengan penuh semangat aku melangkahkan kakiku ke sekolah itu. Memasuki gang – gang kecil yang ada akhirnya aku dapat melihat dengan jelas plang bertuliskan SD X. Kami bersama Pak Amru mencoba menemui kepala sekolah yang bersangkutan untuk meminta izin. Sambil melihat lingkungan di sekitar aku mulai menilai, tidak terlalu luas dan yahh bisa dibilang lingkungannya kurang bersih dan kurang rapi menurutku. Tetapi, aku belum tahu pasti bagaimana kondisi siswanya. Setelah meminta izin pada guru yang mengajar di sana, kami mulai mencoba melakukan observasi kelas. Dengan melakukan pembagian tugas, kami memilih kelas yang akan kami masuki. Kebetulan aku bersama Uni Nova memutuskan untuk masuk di kelas 1A. Sepertinya akan menarik untuk mengetahui kondisi di kelas rendah. Aku memasuki ruangan yang sebelumnya aku tak mengira itu adalah sebuah ruangan kelas. Sebuah ruangan kecil di pojok yang menurutku begitu dipaksakan. Begitu sempit dan kurang ventilasi. Udara begitu panas walaupun kipas angin sudah dinyalakan. Pintu yang ditutup menambah pengap suasana kelas. Tetapi bagaimanapun juga pintu harus ditutup karena anak kelas satu terkadang masih begitu aktif untuk berlari – larian bahkan untuk ke luar kelas. Aku dan Uni Nova duduk di bangku belakang sambil memperhatikan si guru mengajar murid – muridnya. Hmm…ternyata tak mudah. Setengah mati ibu guru harus meneriakkan suaranya supaya tak kalah jauh diabanding siswa – siswa yang dengan semangatnya berteriak – teriak dan berlarian kesana kemari. Aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Wow.. apakah aku sanggup menghadapi anak – anak seperti itu, pikirku. Walaupun tidak semuanya yang tidak bisa diatur. Ada juga yang diam memperhatikan, ada yang sibuk menggosip dan bermain, dan ada juga yang begitu aktifnya mengganggu temannya yang lain. Berbagai macam karakter yang berbeda yang akan menjadi pelajaran bagiku, karena pada dasarnya begitulah kenyataan di lapangan. Si bu guru begitu sibuknya menerangkan pelajaran tentang tata terib yang kemudian diikuti dengan siswa yang belajar membaca dan menuliskan kalimat – kalimat di papan. Lucunya karena aku duduk di belakang, terkadang siswa – siswa tersebut menoleh ke belakang melihatku penuh rasa ingin tahu dan ketika aku balik menatap mereka , mereka kembali menghadap depan. Hihihi…begitu lucunya mereka. Masih terlihat polos dan lugu. Aku mulai membayangkan, bagaimana mereka ya kalau sudah besar. Pastinya sudah tidak selucu sekarang. Yahh..masa – masa anak – anak. Terkadang aku ingin kembali ke masa itu, menikmati hidup yang seakan tanpa beban. Hanya bermain dan belajar, tanpa permasalahan.

                Kemudian aku melihatnya, seorang anak yang kuketahui bernama Ikal.  Salah seorang anak yang cukup aktif berlarian ke sana sini bersama teman – teman cowoknya. Anak yang ketika disuruh gurunya menulis malah asyik berlarian kesana kemari mengganggu teman – temannya. Menarik sekali..aku perlahan mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Aku tersenyum melihatnya mencoba mengajaknya berbicara , “ Sudah selesai nulisnya??” Dia hanya menggeleng sambil menatapku. “ Ayo coba diselesaikan ,” tambahku. Akhirnya dia mau membuka buku tulisnya. Aku melihatnya mulai menulis , tetapi menggunakan tangan kiri. Aku mencoba menasehatinya “ Anak yang baik ..kalau nulis pakai tangan apa ya? “ Dia mengubah posisi tangannya. Sebenarnya aku sedikit deg – degan. Aku tak pernah menghadapi murid sebelumnya, aku belum terbiasa, apalagi anak – anak kelas rendah. Aku takut salah berbicara yang nantinya hanya akan mempengaruhi kondisi mentalnya. Jadi aku berusaha sehati – hati mungkin.  Si Ikal terlihat mulai serius mengerjakan tugasnya, karena dia melihat teman – temannya sudah selesai dan sudah menilaikan tugasnya sehingga dia terpacu untuk kemudian mengerjakan tugas tulisannya. Tetapi aku melihat raut wajah kebingungan di wajahnya. Dia ternyata belum hafal huruf, belum lancar membaca dan menulis. Dalam soal latihan diberikan gambar mangga rasanya apa dan berwarna apa. Aku berusaha membantunya. Aku beritahu bagaimana contoh tulisan huruf a, b, c  dan seterusnya.  Walaupun dia menjadi yang paling lama mengerjakannya akhirnya dia bisa menyelesaikannya juga. Dia bernafas lega karena akhirnya dia bisa pulang. Benar – benar lucu kelakuan mereka. Aku tak tahu apakah aku bisa sabar menghadapi anak – anak kecil itu.  
Siangnya aku mencoba mengobservasi kelas tinggi. Dengan ruangan kelas yang sama yang kemudian dimasuki oleh anak kelas siang yaitu kelas 4A. Pelajaran yan seharusnya adalah IPA tetapi ternyata diisi dengan pelajaran Agama. Ketika aku tanya gurunya kenapa tiba – tiba diganti , Bu Guru Agama bilang tidak tahu, karena tiba – tiba si Guru IPA meminta untuk digantikan. Apakah di sekolah ini begitu mudahnya mengganti jam – jam pelajaran begitu saja, pikirku. Murid – murid kelas 4 itu diberi tugas untuk mencatat dari buku paket yang dipinjamkan. Yaaa…ternyata tak ada satupun dari mereka yang memiliki buku. Mereka hanya dipinjamkan ketika pelajaran berlangsung, diberi tugas mencatat buku yang dipinjamkan selama pelajaran dan para siswa belajar dari buku catatannya masing – masing, cerita seorang anak padaku. Ohh…aku baru tahu kalau metodenya seperti itu. Aku bertanya lagi pada seorang anak bernama Chaniya, apakah tidak ada insiatif untuk membeli atau memfotokopi buku yang ada. Tetapi dia bilang tidak ada, karena memang tidak ada yang seperti itu sebelumnya. Bagi yang tidak mencatat ya terima nasib, tidak ada yang dipelajari. Selama pelajaran Agama berlangsung, anak – anak diminta untuk mencatat buku sebanyak beberapa halaman dan kemudian gurunya menghilang entah kemana. Sampai aku pulang pun gurunya tak kunjung kembali. Hmm… sungguh miris sekali. 

Kamis, 29 November 2012
Hari ini aku mulai praktik mengajar. Hmm…rasanya deg – degan juga, baru kali ini aku mengajar murid – murid di depan kelas. Kebetulan aku mendapat jatah mengajar siang hari jam 12 untuk anak – anak kelas 4B yang masuk siang. Diiringi panas terik yang menyengat aku berjalan menuju ke ruangan kelas 4B. Ternyata ruangannya tepat di antara ruangan kelas 4A yang kuobservasi kemarin dan juga kelas 3. Tidak ada bel sekolah, sehingga aku tak tahu kapan pelajaran dimulai, berganti, istirahat atau pulang. Ketika ditanyakan pada seorang guru, alasannya ialah gedung sekolah yang baru direnovasi sehingga bel sekolah belum sempat dipasang. Panas dan pengap, itulah yang pertama kali aku rasakan saat memasuki ruangan kelas 4A. Ruangannya cukup besar sebenarnya, tidak ada kipas angin seperti ruang kelas kemarin dan masih tetap kurang ventilasi. Selain itu, karena letaknya yang berada di antara ruangan kelas, membuatku perlu mengeluarkan energy ekstra untuk berteriak – teriak supaya dapat menguasai kelas, apalagi kalau kelas – kelas sebelahnya ramai, benar – benar harus berusaha mengimbangi suasana lelas yang ricuh.
 Materi yang aku bawakan yaitu pelajaran Matematika, mengenai keliling segitiga. Aku mencoba untuk mempraktikan ilmu yang kupelajari selama pembinaan. Membuat scenario pembelajaran dengan menggunakan metode tertentu.  Aku menggunakan metode puzzle untuk apersepsi, dengan menggunakan kertas lipat yang aku gunting membentuk bangun – bangun datar tertentu seperti persegi, persegi panjang dan segitiga kemudian dipotong – potong lagi secara acak untuk membuat puzzle. Kemudian, aku membagi mereka secara berkelompok yang kemudian mereka diberi tugas untuk menyusun puzzle. Setelah itu baru aku masuk materi tentang luas segitiga. Mereka tahu dan hafal benar rumusnya, tetapi masalahnya adalah ketika aku memberikan soal, mereka tak bisa menjawab, karena mereka ternyata tak tahu cara menghitungnya. Mereka belum bisa perkalian dan pembagian, aku cukup stress menyadari kenyataan yang terjadi. Perkalian 1 sampai 10 saja mereka belum bisa, apalagi pembagian. Tak ada gunanya mereka tahu rumus tanpa bisa mengerjakan soalnya. Aku jadi bingung mau mulai dari mana, sepertinya mereka perlu diajari mulai dari awal, tetapi sebenarnya itu adalah materi kelas 3, dan mereka sudah kelas 4, seharusnya mereka sudah bisa. Yaa… sudahlah. Ingin rasanya aku mulai mengajarkan mereka dari awal, tetapi karena waktunya yang hanya satu jam dan tidak mencukupi, maka aku belum bisa memberikan banyak. Aku berikan penutup dengan menggunakan nyanyian rumus bangun datar yang semoga bisa membuat mereka lebih mudah untuk menerti.
Pelajaran yang berikutnya yaitu Bahasa Indonesia yang diisi oleh Kak Darni. Sedangkan aku tetap berada di kelas untuk mengobservasi kelas.  Memang benar – benar butuh usaha ekstra untuk menguasai kelas. Kami berteriak – teriak sampai hampir habis suara supaya tidak kalah dengan kelas – kelas sebelah yang juga luar biasa ramainya. Apalagi anak – anak yang rusuh naik – naik ke atas bangku dan begitu susah untuk dikendalikan. Sudah diingatkan berkali – kali tetapi tetap saja dilakukan, sepertinya sudah menjadi kebiasaan di sana.  Pelajaran 3,5 jam rasanya menguras energy berhari – hari. Aku pun tidak bisa menyalahkan kondisi murid – muridnya, tetapi lingkungan memang tidak mendukung jadi ya apa boleh buat. 

Jum’at, 30 November 2012
Setelah kemarin mencoba mengajar kelas atas, hari ini aku mencoba mengajar kelas bawah, tepatnya yaitu kelas 2A. Aku sudah bersiap – siap sedemikian rupa untuk membuat metode pembelajaran yang semenarik mungkin, mengingat anak – anak kelas rendah yang tentunya akan lebih aktif dibandingkan anak kelas tinggi.  Ruangan kelas 2A berada di belakang. Kondisi kelas cukup lumayan dibanding yang kemarin. Paling tidak hanya ada satu kelas di sampingnya dan juga ada kipas angin yang sangat berguna untuk sirkulasi udara. Awal aku masuk kelas mereka , mereka cukup bingung siapa sebenarnya aku ini. Orang asing yang tiba – tiba masuk kelas mereka. Mereka kira aku adalah guru baru mereka. Setelah perkenaan barulah mereka mengerti. Aku mencoba melakukan pendekatan pada mereka dengan menyuruh mereka memperkenalkan diri satu persatu nama dan cita - citanya. Beberapa anak tampak malu – malu.  Bahkan ada yang tidak mau maju di depan kelas. Mengenai cita – cita ,  sebagian besar anak – anak cowok ingin menjadi pemain bola, beberapa ingin jadi tentara atau polisi. Sedangkan anak – anak perempuan kebanyakan ingin menjadi dokter atau guru. Sungguh menarik mendengar impian anak – anak polos itu.  Kemudian masuk pada materi pelajaran. Kali ini aku berkesempatan untuk mengajarkan materi tematik Matematika dan PLH ( Pendidikan Lingkungan Hidup ). Terus terang aku bingung bagaimana menggabungkan antara kedua materi tersebut. Akhirnya aku memutuskan untuk  mengajar mata pelajaran Matematika dulu. Aku mengeluarkan suatu benda yang dibungkus kresek dan kuperlihatkan kepada para siswa dan aku suruh menebak kira – kira apa yang ada di dalamnya. Yaaa… seorang anak perempuan berhasil menjawabnya, sebuah timbangan. Jadi kira – kira materi apa yang akan diajarkan hari ini, tanyaku. “ Mengukur berat buuu…menimbang …” Yaaa…betul sekali, jawabku sambil tersenyum. Hari ini mereka akan mencoba aplikasi materi pengukuran berat dengan metode menimbang badan mereka sendiri. Aku sudah menyiapkan timbangan badan yang aku pinjam dari kelas SGI dan sebuah timbangan kue yang aku pinjam dari pantry untuk mengukur dalam satuan gram. Aku senang melihat siswa – siswa begitu antusias. Aku membagi mereka menjadi dua kelompok besar yang mengharuskan mereka untuk baris dan mengantri. Mirisnya ternyata mereka tidak bisa baris. Aku mencoba menyiapkan mereka dan aku suruh lencang depan, tetapi mereka tak mengerti bagaimana itu lencang depan. Ada yang memakai tangan kiri dan tidak ada satu pun yang meluruskan barisannya. Aku hanya geleng – geleng kepala melihat mereka. Dengan susah payah aku mengatur mereka, apalagi siswa – siswa laki - laki yang begitu aktifnya berlarian kesana kemari. Seketika kelas berubah menjadi posyandu dadakan, mereka mengantri menimbang berat badan dan dilanjutkan dengan menuliskan nama dan berat badan mereka di papan tulis. Setelah itu mereka menimbang alat – alat tulis mereka dengan menggunakan timbangan kue dan belajar membaca timbangan. Setelah itu mereka aku ingatkan dengan materi mengubah satuan dari kilogram ke ons, kilogram ke gram dan dari ons ke gram. Dilanjutkan dengan menyanyi dengan lagu yang aku buat dadakan. Karena mereka senang sekali dengan lagu Iwak Peyek, jadi aku buat lagu dadakan dengan nada Iwak Peyek lengkap dengan gayanya
 Satu kilogram…satu kilogram … sama dengan sepuluh ons …
Satu kilogram … satu kilogram…  sama dengan seribu gram …
Satu ons  … satu ons  … sama dengan seratus gram …
Ayo kawan .. ayo kawan …kita belajar pengukuran ..
Begitulah kira – kira lirik lagunya. Entahlah aku tak peduli apakah aneh atau tidak yang penting mereka senang itu saja. Aku ulang – ulang sampai kira – kira mereka hafal. Begitulah akhir dari pelajaran Matematika. Untuk pelajaran Liingkungan Hidup karena materinya kebetulan tentang Bersih di Sekolah. Akhirnya aku suruh mereka untuk  bersih – bersih di kelas dan di seluruh lingkungan sekolah secara berkelompok. Aku agak kewalahan menghadapi siswa – siswa cowok yang begitu aktifnya berlarian kesana kemari bahkan sampai keluar gerbang sekolah, untungnya akhirnya tak lama mereka kembali ke kelas lengkap dengan mainan yang dibelinya yang kemudian dimainkan bersama teman – temannya. Kudekati mereka dan kutanya apa itu, mereka lalu menyembunyikannya. Aku membuat aturan untuk menyitanya kalau mereka tetap memainkannya, akhirnya mereka menyimpan mainan tersebut. Setelah acara bersih – bersih selesai, dilanjutkan dengan menulis. Mereka aku suruh menulis dari buku mereka beberapa kalimat dan kemudian membacakannya di depan kelas. Karena pada dasarnya anak kelas 2 itu belum terlalu lancar menulis dan membaca jadi perlu pembiasaan. Setelah itu di akhir kelas aku bagi mereka kertas lipat untuk membuat berbagai macam kreasi, terserah mereka, dengan dituliskan nama dan cita – cita mereka. Kebanyakan mereka membuat pesawat – pesawatan yang kemudian diterbangkan ( ide dari 30 minutes in action for peace ) . Akhirnya selesai jugalah pelajaranku pada hari itu. Aku bernafas lega. Begitu banyak hal yang kupelajari pada hari itu yang mungkin bisa bermanfaat bagiku di lain waktu.

BACA JUGA :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar