Selasa, 30 April 2013

Setitik Kontemplasi


Terkadang  terbersit sebuah pertanyaan mendalam dalam hati keciku. Apakah aku pantas ? Yahh..betul. Apakah aku pantas untuk menjadi contoh dan teladan yang baik? Sebuah tanya  menari – nari dalam benakku. Apakah aku sanggup mengemban amanah yang begitu besar ini? Amanah yang akan aku pertanggungjawabkan tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat kelak. Terkadang terus terang aku merasa putus asa. Melihat ketidakmampuanku sendiri, keraguanku dalam melakukan yang terbaik untuk mereka. Aku merasa frustasi, ketika aku merasa aku belum mampu mengendalikan mereka, belum mampu menjadi teladan mereka, belum mampu menjadi contoh yang baik bagi mereka. Aku merasa sangat sedih.  Aku tahu amanah ini begitu besar. Menjadi guru bukanah profesi main – main. Bukanah seperti karyawan kantoran dengan hanya benda mati saja yang dihadapi. Yang kuhadapi adalah manusia. Perlu ditekankan sekali lagi “ manusia “. Manusia punya otak untuk berpikir, manusia punya rasa, asa dan jiwa. Kita tidak bisa seenaknya saja memperlakukan mereka. Salah sedikit saja pengaruhnya akan begitu besar, bahkan mungkin akan dibawa sampai tua. Manusia itu unik, berbeda – beda antara satu dan yang lainnya. Tidak ada satupun di dunia ini manusia yang sama persis dari segi fisik, kepribadian ataupun kegemaran, bahkan manusia kembar sekalipun.  Karena itu mengamati berbagai macam manusia pun hal yang menarik bagiku. Dari sinilah kita jadi bisa belajar bagaimana menempatkan diri dan berlaku sesuai kepribadiannya masing – masing. Tetapi nyatanya tak semudah itu.   Semua bertabrakan denga reaita bahwa saya pun manusia. Saya juga “ unik “ seperti yang lain, dan memperlakukan diri sendiri dengan baik juga merupakan hal yang tidaklah mudah.  Bahkan menaklukan diri sendiri lebih susah bukan daripada menaklukan orang lain. Yahh…itulah tantangan kehidupan. Kenyataan yang mau tidak mau harus dijalani sebagai makhluk Allah. No body’s perfect. Menjadi manusia  sempurna setiap waktu itu merupakan hal yang tidak mungkin, tetapi berusaha untuk menjadi sempurna itulah yang terbaik.


                Berbekal impian dan niat kebaikan sajapun ternyata tak cukup. Man Shabara Zafira. Siapa yang bersabar ituah yang beruntung. Kesabaran dan kesabaran …itulah kata yang terus menerus kuulang pada diriku sendiri.  Sabar…sabar dan terus bersabar. Ketika ternyata kondisi yang ada tidak sesuai dengan yang diharapkan sebelumnya, ada sebuah kunci yang harus kutemukan “ sabar “.  Bersabar sambil terus berusaha mencari jalan keluar, mungkin akan terasa pahit kelihatannya, tetapi itulah yang terpemting dalam proses pembelajaran diri untuk menjadi lebih baik. Akan selalu ada ujian bagi siapa yang ingin naik kelas, bukan? Kita pun harus percaya bahwa Allah tidak akan membebani kita di luar dengan kesanggupan kita. Allah mempercayakan kepada kita, berarti kita mampu. Aku hanya mencari kepuasan dalam hatiku. Kepuasan ketika melihat semangat mereka untuk datang ke sekolah dan belajar. Kepuasan ketika mereka menjalani proses belajar mengajar dengan penuh suka cita. Kepuasan melihat senyum mereka saat mereka berhasil paham dengan apa yang diajarkan. Kepuasaan ketika mereka bahagia dapat mengerjakan soal – soal dengan benar. Kepuasan melihat mereka dapat melihat cita – cita mereka di depan mata. Apakah aku salah memiliki keinginan seidealis itu? Tetapi permasalahannya tidak sesederhana itu, banyak factor lain di luar sana yang menjadi tantangan bagiku untuk menghadapi mereka. Perhatian bahkan lebih prioritas dibandingkan ilmu itu sendiri. Aku tak tahu. Saat ini aku merasa belum sukses. Tetapi aku tidak akan berhenti berusaha, demi kebaikanku dan mereka. 

BACA JUGA :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar