Selasa, 16 April 2013

Pendidikan Matematika Realistik Indonesia ( PMRI )

1. Sejarah Pembelajaran Matematika Realistik (PMR)
PMR tidak dapat dipisahkan dari Institut Freudenthal. Institut ini didirikan pada tahun 1971, berada di bawah Utrecht University, Belanda. Nama institut diambil dari nama pendirinya, yaitu Profesor Hans Freudenthal (1905 – 1990), seorang penulis, pendidik, dan matematikawan berkebangsaan Jerman/Belanda.
Sejak tahun 1971, Institut Freudenthal mengembangkan suatu pendekatan teoritis terhadap pembelajaran matematika yang dikenal dengan RME (Realistic Mathematics Education). RME menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika harus diajarkan. Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai passive receivers of ready-made mathematics (penerima pasif matematika yang sudah jadi). Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri. Banyak soal yang dapat diangkat dari berbagai situasi (konteks), yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar. Konsep matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang berkait dengan konteks (context-link solution), siswa secara perlahan mengembangkan alat dan pemahaman matematik ke tingkat yang lebih formal. Model-model yang muncul dari aktivitas matematik siswa dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas, sehingga mengarah pada level berpikir matematik yang lebih tinggi.

2. Perlunya Mengembangkan PMR
Orientasi pendidikan kita mempunyai ciri: cenderung memperlakukan peserta didik berstatus sebagai obyek; guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner; materi bersifat subject-oriented; dan manajemen bersifat sentralistis. Orientasi pendidikan yang demikian menyebabkan praktik pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan dengan kebutuhan pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak sejalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian.
Teori PMR sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (cotextual teaching and learning, disingkat CTL) . Namun, baik pendekatan konstruktivis maupun CTL mewakili teori belajar secara umum, PMR adalah suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika. Selanjutnya juga diakui bahwa konsep PMR sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar. Salah satu pertimbangan mengapa Kurikulum 1994 direvisi adalah banyaknya kritik yang mengatakan bahwa materi pelajaran matematika tidak relevan dan tidak bermakna.
 
3. Konsepsi PMR
Beberapa konsepsi PMR tentang siswa, guru dan tentang pengajaran yang diuraikan berikut ini mempertegas bahwa PMR sejalan dengan paradigma baru pendidikan, sehingga ia pantas untuk dikembangkan di Indonesia.
·         Konsepsi tentang siswa
Hadi (2005) menyatakan bahwa PMRI mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut :
(a) Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya.
(b) Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan untuk dirinya sendiri
(c) Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali dan penolakan.
(d) Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman.
(e) Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematika
Selain konsepsi tentang siswa, PMRI juga merumuskan peran guru dalam pembelajaran yaitu (Hadi, 2005) :
·         Peran guru
a.       Guru hanya sebagai fasilitator belajar.
b.      Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif
c.       Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil.
d.      Guru tidak terpaku pada materi yang terdapat dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia riil baik fisik maupun sosial.
·         Konsepsi tentang pengajaran:
Langkah-langkah pembelajaran matematika dengan PMRI meliputi aspek-aspek berikut:
Pendahuluan:
1)   Memulai pembelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya sehingga siswa segera terlibat dalam pembelajaran secara bermakna
2)      Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut
Pengembangan:
1)         Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan atau masalah yang diajukan
2)         Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain
Penutup / Penerapan:
Melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran

4.            Karakteristik PMRI
Matematika dengan pendekatan realistik dikatakan bahwa matematika sebagai aktivitas manusia dan harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMR mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru, dan bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil” (Hadi, 2004). Adapun karakteristik PMRI meliputi hal-hal sebagai berikut:
1) Menggunakan Konteks “Dunia Nyata”
Dalam PMRI, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (dunia nyata), sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung. Proses penyarian (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi yang nyata dinyatakan oleh De Lange (1987) sebagai matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian, siswa dapat mengaplikasikan konsep -konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata (applied matematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematization of everyday
experience) dan penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari (Cinzia Bontto, 2000)
2) Menggunakan model-model (matematisasi)
Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed 16 I Gusti Putu Suharta,”Matematika Realistik: Apa dan Bagaimana?” models). Peran self developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi riil ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah model situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa. Generalisasi dan formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model-of masalah tersebut. Melalui penalaran matematik model-of akan bergeser menjadi model-for masalah sejenis. Pada akhirnya, akan menjadi model matematika formal.
3) Menggunakan produksi dan konstruksi
Streefland (1991) menekankan bahwa dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.
4) Menggunakan interaksi
Interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam PMRI. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pernyataan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.
5) Menggunakan keterkaitan (intertwinment)
Dalam PMRI pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial. Jika dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks dan tidak hanya aritmetika, aljabar atau geometri tetapi juga bidang yang lain.

5.          Prinsip dalam PMRI
Salah satu kegiatan inti dalam pembelajaran matematika dengan PMRI adalah diskusi kelas tentang situasi masalah dan prosedur pemecahannya. Adanya prosedur pemecahan masalah yang bermacammacam memungkinkan terjadinya diskusi yang mengarahkan siswa kepada refleksi tentang prosedur pemecahan masalah. Prinsip penting dalam pendekatan ini adalah sebagai berikut:
1) Siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang mirip dengan proses ditemukannya konsep, prinsip atau prosedur matematis.
2) Situasi masalah yang diselidiki oleh siswa harus dipilihkan yang mengandung penerapan matematika yang sudah diantisipasi oleh guru serta yang dapat menimbulkan matematisasi.
3) Memungkinkan siswa membentuk model yang merupakan jembatan antara pengetahuan informal dan matematika formal.

sumber :  laporan Penelitian Tindakan Kelas dengan judul Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Mengenai Materi Bangun Datar  Melalui Pendidikan Matematika Realistik Indonesia Siswa Kelas 3A SDN Parung 04 Bogor oleh Yusi Rizki Gustiesa


BACA JUGA :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar