Baiklah…melanjutkan
cerita yang telah lama terputus tentang kisahku di negeri Laskar Pelangi ( baca juga Welcome Belitung Island ). Bagi
yang belum tahu, Laskar Pelangi merupakan nama lain dari pulau Belitung yang terletak di sebelah timur
pulau Sumatra. Tempat ini memang menjadi
kediaman baru bagiku dan banyak pelajaran yang bisa aku dapatkan di sini.
Begitu banyak hal, utamanya yaitu belajar untuk mengenal dunia baru yang
berbeda dari sebelumnya. Walaupun aku adalah perantau sejati sejak dulu, tetapi
hanya sampai pada ngublek – ngublek
seputaran pulau Jawa dan sekitarnya. Di sinilah tempat baru yang aku huni,
dengan pulau yang berbeda, bahasa berbeda, kebudayaan yang berbeda, plus
karakter orang yang berbeda pula. Ternyata dunia tak selebar daun kelor. Ketika
kita memasuki tempat baru, kita akan semakin menyadari dengan adanya
keanekaragaman yang membuat kita harus bisa belajar lebih bertenggang rasa,
saling memahami satu sama lain. Orang – orang Belitung, yang masih masuk dalam
kawasan pulau Sumatra memiliki watak yang berbeda dengan orang Jawa. Bisa
dikatakan orang Jawa lebih halus dari berbagai macam sudut. Orang Sumatra memiliki karakter yang lebih
terbuka dan blak – blakan dibanding orang Jawa yang cenderung menyimpan. Tetapi
itu hanyalah dugaan secara umum, pada kenyataannya semuanya kembali kepada
sifat dan kepribadian orang masing – masing. Dari segi bahasa juga cukup butuh
waktu untuk aku dapat memahami bahasa
mereka. Tak terlalu susah sebenarnya, karena bahasa yang dipakai adalah bahasa
Melayu, hampir mirip – mirip bahasa Indonesia. Hanya kalau mereka sudah
berbicara terlalu cepat, aku pun jadi sukar memahaminya.
Sebenarnya
aku cukup heran ketika awal ditempatkan. Aku ditempatkan di suatu tempat yang
tak dapat sama sekali disebut pelosok. Justru aku dapat penempatan di kota. Hal
tersebut sempat menjadi pertanyaan besar bagiku, aku begitu berbeda dengan
teman – teman yang lain yang ditempatkan di daerah terpencil, apa yang dibutuhkan oleh sekolah yang bahkan
sudah ada di kota, dengan akses yang bisa dikatakan tak cukup sulit
dibandingkan dengan yang lain. Mengapa sekolah penempatanku sekarang menjadi
salah satu sekolah yang dirasa butuh bantuan sedangkan dari segi fasilitas
semua terasa tak ada masalah? Akhirnya ketika sampai disini dan telah
menjalankannya aku pun menemukan jawabannya, bahwa materi dan fasilitas
bukanlah segalanya. Tak ada sekolah di Belitung ini, walaupun toh di desa-nya
sekalipun yang buruknya menyamai sekolah – sekolah di Jawa. Sejauh apapun dan
seterpencil apapun sekolah - sekolah di pulau ini, fasilitas apapun rasanya
sudah terjamin oleh dinas pendidikan. Seharusnya jika dilihat secara kasat
mata, pendidikan di sini bisa lebih maju dibandingkan dengan sekolah – sekolah
di Jawa. Lantas apakah yang salah dengan
itu semua ?
Aku ditempatkan di SD Muhamadiyah. Kalau di
Jawa rasanya nama ini sudah tak asing lagi karena saking terkenalnya dan banyak
cabang di mana – mana. Nama SD Muhamadiyah Belitung menjadi sejarah tersendiri
karena sekolah ini diceritakan khusus di sebuah novel karya Andrea Hirata yaitu
Laskar Pelangi yang menjadikan pulau ini semakin tersohor namanya. Banyak orang
bertanya, apakah aku ditempatkan di sekolah itukah, seperti yang ada dalam
novel? Jawabannya adalah tidak. Sekolah SD Muhamadiyah yang diceritakan dalam
novel sudah lama tak ada dan letaknya di wilayah Gantung, Kabupaten Belitung
Timur, yang tertinggal hanya replikanya yang dibuat sebagai lokasi syuting film
Laskar Pelangi.
Sebagai gantinya, SD Muhamadiyah yang ada saat ini dan satu –
satunya di pulau Belitung, yaitu di tempatku berada, di kawasan Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung.
Sekolah ini pun baru beberapa tahun berdiri. Ketika aku pertama kali datang ke
tempat ini, sekolah ini baru akan meluluskan angkatan pertamanya. Untungnya tak
seperti dalam cerita, aku pun tak perlu untuk mencari – cari murid baru
sebanyak minimal 10 orang supaya sekolah ini dapat bertahan. Hehe….Buktinya
sekolah ini cukup banyak diminati walaupun toh harus bersaing dengan sekolah –
sekolah negeri.
Sekolahku
SD Muhamadiyah Tanjungpandan bergabung satu lokasi dengan beberapa sekolah
lainnya yang masih dalam naungan yayasan Muhamadiyah, di antaranya PAUD, TK
Aysiyah dan SMP Muhamadiyah. Aku sendiri tinggal di dalam sekolah dengan
beberapa penghuni lain di sebelah kamarku. Seperti kamar kos – kosan lah.
Setiap kumembuka pintu kamarku pemandangan yang kulihat adalah prosotan besar
berbentuk keong raksasa milik sekolah TK, sementara di pinggirnya ada ayunan,
jungkat - jungkit dan mainan – mainan anak TK yang tak jarang dipakai pula oleh anak – anak
SD bahkan SMP.
Selain keong raksasa tersebut, pemandangan lain yang kulihat
adalah hamparan pasir putih yang merupakan lapangan sekolah. Itulah cirri khas
sekolah – sekolah di Belitung. Di lapangannya pun tanahnya berupa pasir putih. Aku
tinggal di kawasan Muhamdiyah. Tak hanya sekolah saja yang ada di sekitarku. Di
depan sekolah, terdapat panti putra Muhamadiyah dan panti jompo Muhamadiyah
sementara di sebelah sekolah ada panti putri Muhamadiyah yang semua siswanya
bersekolah di sekolahku. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri untukku
karena tak begitu mudah mendidik anak – anak panti itu. Ketika pada umumnya
panti diidentikkan dengan suatu tempat penampungan anak – anak yang tak memiliki
ibu dan ayah, tetapi berbeda halnya dengan di sini. Sebagian besar anak panti adalah anak yang
masih memiliki keluarga, tetapi menjadi tak terurus karena permasalahan
keluarga. Yaa…maraknya kawin cerai yang mengakibatkan anak menjadi korban, broken home, begitulah istilahnya. Sang ayah
menikah lagi dengan orang lain dan sang ibu menikah lagi dengan orang lain pula,
yang kemudian anak menjadi kurang perhatian dan kurang kasih sayang. Jadilah
anak anak tersebut sebagai sosok anak yang tak dipeduikan, suka mencari
perhatian, bahkan di sekolah perlu kesabaran ekstra tinggi untuk mendidik anak
– anak tersebut karena mereka sering menjadi
tak terkendali. Bukan hanya anak panti saja, tetapi begitu banyak kasus broken
home ini yang terjadi pada sebagian siswaku di sekolah, yang hanya membuatku
geleng – geleng kepala untuk mendidik mereka. Mereka begitu susah diatur dan
selalu mencari perhatian dengan keisengan – keisengan yang mereka perbuat, yang terkadang membuat siapapun menjadi kesal.
Semuanya dapat menjadi pelajaran yang berharga, bahwa begitu besar peran dan
pengaruh keluarga utamanya orangtua terhadap anak. Tak heran guru – guru di
sini semua selalu bersikap keras, karena hanya itulah menurut mereka jalan satu
– satunya supaya mereka patuh. Tetapi apakah
benar begitu halnya? Itulah tantangannya. Mengapa aku ditempatkan di tempat
ini? Semuanya terjawab sudah.
BACA JUGA :
Ceritaku
- Obat Herbal Mujarab
- Assalamu'alaikum
- Cerita Hujan
- Rejeki Penjual Jas Hujan
- Pengalaman Mengikuti Seleksi Beasiswa LPDP
- Awardee LPDP PK 40 - Kemilau Nusantara-
- Susahnya Matematika K13
- Menulis Impian
- Fenomena Jurusan Kedokteran
- Perbedaan Gejala Maag dan Masuk Angin
- Pengalaman Ikut Workshop STIFIN
- Dampak Permainan Playstation bagi Anak
- Faktor Pembentuk Akhlak
- Profesi PNS Idaman Masyarakat
- Resensi Buku “ Trik – Trik Berhitung “
- Resensi Buku “ Belajar Menuang Ide dalam Puisi – Cerita – Drama “
- Resensi Buku “ We Are Good Mothers “ 100% Jadi Ibu bagi Wanita Pekerja
- Guru 12 Purnama
- Esok Kiamat ??!!
- Masalah Psikologis Anak
- Selamat Hari Guru
- Siswaku Indigo !!!
- Yuk Berdonasi di Kolong Ilmu
- Makna dari Kisah Abu Thalib
- Matematika, Siapa Takut ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar