Siang itu sang surya tengah berdiri tepat di
atas kepala manusia normal, udara Pulau Belitung yang memang panas akibat kondisi geografis daerah pantai,
menjadi semakin panas. Saat itu pukul 12 siang, siswa – siswi di sekolahku mengajar baru saja selesai
mengerjakan shalat dhuhur berjamaah. Mereka pun bersiap – siap pulang, melepas
lelah di rumahnya masing – masing setelah seharian menuntut ilmu di sekolah.
Terkecuali siswa - siswi kelas 6 yang kemudian tetap di sekolah, beristirahat
menunggu les tambahan sebagai suplemen tambahan ilmu pengetahuan mereka. Hari
ini tugaskulah yang mengajar mereka. Aku memberikan mereka waktu untuk
istirahat sejenak mengisi energy mereka dengan makan siang dari bekal mereka
masing – masing. Setengah jam kemudian
tiba saatnya aku harus menunaikan tugasku, aku berjalan menuju ke ruang
kelas. Tiba - tiba terdengan suara ribut – ribut dari arah ruangan kelas 6. Ada
apakah gerangan? Aku memasuki ruangan itu dan mendapati dua orang siswaku tengah
berkelahi dengan liar. Teman – teman yang lain hanya menonton, antara bingung
dan takut untuk melerai mereka. “ Ada apa ini?” tanyaku pada mereka. Mereka
hanya diam saja, sementara Teguh yang sedang emosi tak mengacuhkan keberadaanku, dia terus menerus memukuli Ikbal
dengan tangannya. “ Stop !! Stop!! Berhenti!!” Perintahku. Kupegang erat – erat
tubuhnya supaya tak dapat menyakiti temannya lagi. Matanya melotot marah sambil
berkaca – kaca dan nafasnya tersengal – sengal tanda emosi yang tak tertahankan.
“ Sudah Teguh…Sudah…Ceritakan kepada ibu apa yang terjadi, “ tanyaku sambil
berusaha menenangkannya. Dia kemudian berbicara tak jelas saking emosinya, yang
kedengar hanyalah beberapa patah kata, “ Ikbal …jarum…badan …tusuk, “ Aku
mencoba meraba – raba maksudnya, sepertinya temannya yang bernama Ikbal iseng
menusuk – nusukkan jarum ke tubuhnya. “ Apa benar itu Ikbal?” tanyaku kemudian
kepada anak yang juga tak kalah emosinya “ Siapa Bu…Bukan saya..Saya dari tadi
tidak memegang apa – apa” katanya berkelit. “ Bohong Bu!!!!” Teguh mulai tak
dapat mengendalikan diri lagi mendengar jawaban Ikbal, berusaha melepaskan diri
dari peganganku. Ikbal memang siswa yang suka iseng dan sering berbuat ulah di
kelas. “ Ikbal jawab ibu dengan jujur, apa benar kamu yang melakukannya. ‘ “
Tidak Bu. Lihat ini saya tidak bawa apa – apa. Mana jarum saja saya tak punya.
“ Teguh mulai emosi melihat Ikbal selalu membantah. Dia berhasil melepaskan
diri dari peganganku berlari ke belakang kelas, mengambil kayu yang entah dari
mana asalnya tiba – tiba ada di dalam kelas, siap memukulkan benda tersebut
kepada Ikbal. “ Teguh !!!!” teriakku “ Jangan !!!!
. Ikbal berlari menghindari Teguh. Aku tak dapat mengimbangi lari mereka yang sangat gesit. Untung kemudian ada seorang anak yang dapat menangkap Teguh, menahannya untuk berlari. Ikbal merasa perlu mempertahankan diri dan berusaha membalas Teguh, dia tiba – tiba mengangkat kursi di depannya bersiap dilemparkan pada Teguh. Aku benar – benar panic waktu itu. Untungnya aku berhasil menangkap Ikbal dan memegangi tangannya untuk tidak melakukan hal – hal yang tidak diinginkan. Teguh berlari ke luar kelas, duduk terdiam di pinggir lapangan sambil menangis.
. Ikbal berlari menghindari Teguh. Aku tak dapat mengimbangi lari mereka yang sangat gesit. Untung kemudian ada seorang anak yang dapat menangkap Teguh, menahannya untuk berlari. Ikbal merasa perlu mempertahankan diri dan berusaha membalas Teguh, dia tiba – tiba mengangkat kursi di depannya bersiap dilemparkan pada Teguh. Aku benar – benar panic waktu itu. Untungnya aku berhasil menangkap Ikbal dan memegangi tangannya untuk tidak melakukan hal – hal yang tidak diinginkan. Teguh berlari ke luar kelas, duduk terdiam di pinggir lapangan sambil menangis.
Anak
– anak kelas 6, mereka bukan – anak – anak lagi. Mereka adalah anak – anak yang
sudah menjelang remaja dengan keadaan emosi yang sangat labil. Mereka mudah
tersulut emosinya dengan ego yang begitu tinggi. Tak mudah memang menghadapi
anak – anak di masa seperti itu, dan aku tahu inilah saatnya aku diuji. Aku mendekati Teguh menenangkannya, “ Sudah
Teguh..tak apa – apa. Tenang dulu ya. Ceritakan dulu secara jelas kejadiannya
seperti apa. Dia diam saja matanya memerah seperti hendak menangis. Tiba – tiba
Ikbal datang mendekati, “ Saya tidak bawa apa – apa Bu. Saya tadi bawa jarum
tapi sudah saya buang, “ “ BOHONG!!!” Teguh berteriak. “ Sudah….sudah …” aku
berusaha menengahi mereka. Sementara aku bingung bagaimana harus bersikap. Aku
tak tahu pasti bagaimana kejadiannya karena aku memang tak melihat kejadiannya
secara langsung. Si tersangka, Ikbal pun tak mau mengaku jika memang dia yang
bersalah. Anak – anak lainnya pun berkata tak tahu menahu tentang kejadian
tersebut.” Sudahlah Teguh, “ kembali aku menenangkan anak itu “ Nanti kita
selesaikan masalahnya ya. Sekarang kita masuk kelas dulu yuk. Kasihan kawan –
kawanmu seudah menunggu dalam kelas. Ayo!!, “ ajakku. Dia tetap tak bergeming
tetap duduk di pinggir lapangan. “ Baiklah Teguh mau masuk kelas tidak? “ Dia
menggeleng dan terdiam. Sementara itu anak – anak sudah menunggu di dalam kelas
dengan bosan, “ Kapan Bu lesnya dimulai? “ Tanya mereka. Aku tak bisa terus
menerus menemani Teguh di luar sementara segala macam bujukan telah aku
lontarkan tapi dia tetap tak mau masuk. “ Baiklah Teguh “ kataku akhirnya menyerah
“ Kalau kamu tetap tak mau masuk, ibu tak akan memaksa. Kalau kamu merasa ingin
pulang pulanglah. Mungkin dengan itu kamu akan merasa lebih baik. “ Dengan
terpaksa aku meninggalkannya sendiri masuk ke dalam kelas. Baru saja aku akan memulai pelajaranku, tiba
– tiba aku dihadapkan pada kehadiran seorang pria separuh baya yang mendekati
kelas 6 kelas. “ Bapak Teguh…bapak Teguh…” anak – anak di dekat jendela yang
mengintip mulai berbisik – bisik panic. Kelas
6 yang biasanya ricuh dan berisik menjadi diam seketika.
“
Maaf Bu minta waktunya sebentar dengan anak – anak, “ kata bapak itu tanpa
senyum dengan ekspresi muka yang menunjukkan emosi marah sedangkan aku sendiri
tak sanggup menahannya.
“
Kalian ini sekolah mau jadi preman ya. Kalau mau jadi preman tempatya di pasar,
bukan di sekolah, “ teriaknya tegas kepada anak sekelas. Kelas menjadi hening
seketika “ Kalian tahu, kalau kalian menyakiti anakku, itu sama saja dengan
menyakitiku. Kalau berani kalian apa – apakan anakku maka hadapi aku. “Cukup lama
bapak itu menceramahi anak – anak sedangkan aku sama sekali tak dapat memotong
kata – katanya. Aku sadar betul beliau tengah melepaskan emosinya. Setelah puas
menceramahi anak – anak kemudian berkata kepadaku, “ Maaf Bu. Tolong nanti
sampaikan kepada bapak kepala sekolah. Kejadian seperti ini memang beberapa
kali dialami anak saya. Bapak kepala sekolah pernah mengatakan kepada saya,
sekali lagi anak saya melapor atas kejadian di sekolah kepada orang tua maka
anak saya akan dikeluarkan. Sekarang terserah kepala sekolah mau mengeluarkan
anak saya atau bagaimana. “ kata bapak itu. Kemudian dia menoleh pada anaknya
yang saat itu hanya berdiri di pinggir tembok dengan muka merah sambil terisak
, “ Sudah Guh…saat ini kita pulang saja. Tidak usah les. Seminggu ini kita tak
usah masuk sekolah saja, “ katanya pada anaknya yang hanya diam saja tanpa
berkata apapun. “ Terima kasih, Bu, “ kata bapaknya lagi kemudian pergi
meninggalkan kelas. Pikiranku terasa
panas waktu itu, bingung dengan kejadian yang telah terjadi. Kulihat anak –
anak juga hening, wajah mereka terpancar ketakutan.
“
Baiklah anak – anak, “ kataku kemudian memecah kesunyian “ Ada yang dapat
menjelaskan kejadian yang sebenarnya ?” tanyaku pada mereka. Semua hanya diam
tak bergeming.
“
Ikbal, “ ujarku pada siswa yang terlibat perkelahian itu “ Tolong jelaskan pada
ibu. “
“
Apa …saya tidak melakukan apa – apa, Bu. Sumpah. Saya tidak tahu siapa yang
melakukannya, “ ujarnya membela diri.
“
Lalu kalau bukan kamu siapa yang melakukannya?”
“
Tak tahu Bu. Tadi saya memang main jarum tapi sudah saya buang. “
“
Mengapa kamu main – main jarum. Jarum itu benda tajam dan bisa melukai kawanmu.
Kamu mengerti itu kan? “ nasihatku.
“
Saya Cuma main – main, Bu. “ katanya “ Tapi saya tidak menusukk – nusuk ke
Teguh “
“
Jadi siapa yang mau bertanggung jawab, “ kataku pada seluruh siswa. Aku sedikit
kesal karena tak ada satupun dari mereka mau berkata jujur. “ Kalau tidak ada
yang menusuk Teguh, tidak mungkin dia menjadi begitu marahnya. “
“
Baiklah Ikbal, “ kataku akhirnya “ Sudah siapkah kamu besok menghadapi Kepala
Sekolah. Bersiaplah kalau – kalau ayah Teguh akan menuntutmu. Ibu hanya ingin
kamu dan yang lain berkata jujur, karena kebenaran itu pada akhirnya pasti
terungkap. “ Dia diam, mukanya menunjukkan raut wajah antara bingung dan takut.
“
Oke anak – anak, karena keadaannya sekarang kurang kondusif untuk belajar,
lebih baik sekarang kalian pulang saja, belajar di rumah ya. “ Aku membatalkan
tambahan pelajaran hari ini karena semuanya seperti sudah lepas konsentrasi,
begitu pula denganku. Semua pun mengemasi barang – barangnya kembali untuk
pulang ke rumah. Aku menghela napas panjang menenangkan diri, entah apa yang
harus kuperbuat.
***
Sore
harinya beberapa siswa mendatangiku untuk minta les pribadi
“
Ayolah Bu. Tadi kita kan tidak jadi belajar, sekarang kita belajar ya Bu, “
bujuk mereka. Aku tak tega melihat tampang mereka yang haus akan ilmu
pengetahuan, walaupun suasana hatiku masih tak karuan, terbayang akan kejadian
tadi siang yang belum selesai. Tetapi melihat semangat anak – anak itu aku pun
luluh.
“
Baiklah anak – anak, ayo kita belajar di perpustakaan ya, “ kataku kemudian
sambil tersenyum pada mereka.
“
Yee….” Sorak mereka gembira.
Sekitar
satu setengah jam lamanya aku membagi ilmu kepada mereka. Tak terasa hari sudah
lumayan sore, mereka hendak pulang ke rumah yang kemudian tiba – tiba terlintas
sebuah ide dalam otakku
“
Iwan tunggu, “ kataku pada salah seorang siswaku. Dia yang sudah akan mengayuh
sepedanya terhenti mendengarku memanggilnya.
“
Ada apa, Bu? “
“
Kamu tahu rumah Teguh berada ?” tanyaku
“
Iya, Bu aku tahu. Rumahku dekat dengan rumahnya, “ jawabnya.
“
Antar ibu ke sana ya. Ibu ingin bertemu dengan orang tuanya, “ kataku.
“
Baik Bu. “
Kemudian
aku mengikuti Iwan yang menuju ke rumahnya sembari melewati rumah Teguh
diantarkan oleh beberapa siswa kelas 6 yang tadinya membujukku untuk ikut
bersamaku. Sepanjang perjalanan aku berpikir, aku tak mau ada siswaku yang akan
keluar dari sekolah ataupun harus tak sekolah dalam beberapa minggu. Ini akan
menyia – nyiakan kesempatan mereka untuk mencari ilmu, apalagi harus tak masuk
seminggu, mereka akan ketinggalan pelajaran sementara mereka sudah kelas 6. Aku
harus mempertahankan keberadaan mereka di sekolah. Jarak rumah mereka dari
sekolah ternyata cukup jauh , sekitar setengah jam berjalan kaki, luar biasa
anak – anak ini setiap hari harus berjalan begitu jauhnya ke sekolah, batinku.
“
Ini, Bu rumah Teguh, “ ujar Iwan membuyarkan pikiranku.
“
Iya baiklah. Terima kasih Iwan. “
Aku
mengetuk pintu rumah sederhana dengan tembok bercat abu – abu tersebut.
“
Assalamualaikum, “ aku mengucakpakan salam.
“
Wa’alaikumsalam, “ keluarlah bapak Teguh dari dalam rumah. Beliau kemudian
mempersilakanku masuk ke dalam. Aku dan anak – anak lain kemudian duduk di
ruang tamu rumahnya.
“
Maaf, Pak mengganggu, “ kataku.
“
Iya tidak apa – apa Bu. “
“
Mengenai masalah tadi, saya mohon maaf ya Pak karena saya tidak bisa mengontrol
anak – anak. Tolong juga maafkan Ikbal, dia memang suka cari perhatian di kelas karena
ibunya sudah tidak ada, jadi tak ada yang mengurusnya. Sebenarnya dia memang
suka mencari perhatian. Dia tidak bermaksud menyakiti siapa – siapa kok, Pak
hanya iseng saja. Biasalah anak – anak, “ jelasku.
“
Iya Bu. Saya yang minta maaf. Seharusnya saya juga tahu kalau anak saya ini
juga bandel dan juga suka membuat masalah di kelas. Jadi tidak bisa menyalahkan
dari satu sisi saja. “
“ Iya Pak. Saya tidak mau Teguh tidak masuk
sekolah. Tadi bapak bilang Teguh tidak usah masuk seminggu, itu akan membuatnya
ketinggalan pelajaran. “
“
Saya juga sudah berpikir mengenai itu juga Bu. Ibunya Teguh juga tidak
mengijinkan kalau Teguh tak masuk
sekolah, “ jelas bapaknya “ Sudahlah Guh, besok kamu sekolahlah, jangan membuat
masalah lagi di sekolah. Ini sudah yang ketiga kalinya kamu memanggil bapak
atas masalahmu di sekolah. Belajarlah benar – benar tak usah banyak bermain, “
pria itu menasihati anaknya. Teguh yang duduk di sebelah ayahnya hanya diam. Aku
lega. Tak akan ada siswaku yang tidak sekolah. Setelah lama bercakap – cakap
tentang banyak hal dengan orang tua Teguh, kami pun pulang.
***
Kebenaran
selalu terungkap, itulah fakta yang terjadi dalam kehidupan. Keesokan harinya
entah darimana bapak kepala sekolah mengetahui kejadian tersebut. Bapak kepala
sekolah tempatku mengajar cukup tegas. Saat itu aku sedang mengajar di kelas 6
dan datanglah pak kepala sekolah ke kelasku.
“
Siapa yang orang tuanya kemarin ke sekolah, “ tanyanya tegas.
Teguh
mengangkat tangannya takut - takut.
“
Kamu …dulu sudah bapak peringatkan, sekali lagi kamu memanggil orang tua ke
sekolah kamu akan bapak keluarkan.
Urusan sekolah bisa diselesaikan dengan guru dan kepala sekolah,
seharusnya orangtuamu menemui guru atau kepala sekolah bukannya langsung
menghakimi anak – anak. Karena itu sesuai janji bapak dulu, pulanglah kamu. Tak
usah sekolah lagi di sini. “
Teguh
tertunduk lesu sambil terisak. Dia mengemasi barang – barangnya untuk kemudian
pulang. Perasaanku campur aduk tak karuan, aku tak akan membiarkan siswaku
dikeluarkan. Apalagi Teguh melakukan semua itu karena dipancing oleh Ikbal,
jadi bukan sepenuhnya kesalahannya, itu menurutku. Teguh keluar dari ruang
kelas, disusul bapak kepala sekolah yang berjalan menuju kantor. Aku segera
menyusulnya di kantor. Di kantor sedang berkumpul guru – guru lain yang tengah
duduk memperhatikanku datang.
“
Pak..maaf Pak, “ kataku pada Bapak Kepala Sekolah, “ Jangan keluarkan Teguh
Pak, “mohonku.
“
Tidak apa Bu. Memang sudah seharusnya dia keluar dari sekolah. Ini sudah ketiga
kalinya dia memanggil orang tua untuk urusan sekolah yang seharusnya dapat
diselesaikan oleh guru – guru dan saya sebagai kepala sekolah. “
“
Tetapi waktu itu Ikbal yang sedang iseng pada Teguh jadi bukan salah dia juga. “
“
Tidak apa Bu. Kalau anak yang senakal apapun saya dapat atasi. Saya tidak
pernah berjanji akan mengeluarkan anak yang nakal tetapi saya akan mengeluarkan
anak yang membawa orangtuanya ke sekolah untuk masalah yang dibuatnya di
sekolah. Seharusnya orangtuanya membicarakannya baik – baik dengan guru dan
kepala sekolah untuk diselesaikan, bukannya malah memarahi anak – anak. Itu
tandanya orang tersebut tidak menghormat guru dan kepala sekolah yang merupakan
orangtua mereka di sekolah, “ pak Kepala Sekolah berargumen padaku.
“
Tapi Pak….” Belum selesai aku berbicara masuklah Teguh didampingi oleh
bapaknya. Aku pun menghentikan kata - kataku dan duduk di kursi guru.
“
Jadi Pak, “ kata bapak Teguh pada bapak kepala sekolah “ Apa benar Teguh
dikeluarkan?”
“
Iya. Sesuai dengan perjanjian sebelumnya, ini sudah ketiga kalinya Teguh
melakukan hal yang sama dan dulu saya sudah ernah ingatkan, sekali lagi
memanggil orangtua untuk urusan sekolah maka dia akan dikeluarkan. “
“
Bisa saja Teguh dikeluarkan. Tetapi Bapak harus tahu kalau penyebabnya adalah
Ikbal. Dia yang awalnya menusukkan jarum pada anak saya. Saya jelas tidak
terima, mungkin hari ini bisa saja dia menusuk – nusuk jarum, kemudian besok
dia menusukkan gunting, pisau atau apalah, “ bapak Teguh mulai terlihat emosi.
Wajahnya memerah.
“
Baiklah …baiklah…” kata Pak Kepala sekolah menenangkan. Panggilkan Ikbal. Aku
segera menuju ke kelas memanggil anak itu. Aku gandeng tangannya, “ Ikbal,
kalau kamu ditanya jawablah yang jujur. Kalau perlu minta maaf – minta maaflah,
“ kataku padanya dengan lembut. Wajahnya tegang. Kemarin beberapa anak kelas 6
diam – diam sudah mengaku padaku bahwa memang Ikbal yang melakukannya tetapi
mereka tak berani mengatakannya. “ Aku tidak melakukannya Bu. Sumpah. Banyak
saksinya Bu aku tidak punya jarum, “ katanya terus membela diri. Aku hanya diam.
Dia selalu berkelit dari semua fakta yang terjadi, apalagi yang harus kulakukan
untuk membuatnya jujur. Di kantor, Ikbal pun duduk begitu pula dengan aku.
Bapak Teguh emosi melihat Ikbal
“
Kamu sudah kubilang kalau mau jadi preman ke pasar…jangan di sekolah, “
Bapak
Teguh pun menceramahi Ikbal tanpa ada satu pun yang sanggup memotongnya. Tak
ayal pula anaknya sendiri kena marah olehnya, “ Kau ini Guh juga. Selalu bikin
masalah di sekolah. Di sekolah itu tempat untuk belajar bukan untuk berkelahi.
Kamu telah berkali - kali membuat malu orang tua kamu di hadapan guru – guru
kamu dan kepala sekolah. Kalau kamu tidak mau menurut juga keluar sajalah dari
rumah…”
“
Sudah…sudah…” bapak kepala sekolah menengahi “ Ikbal…apa benar kamu yang
menusuk jarum ke Teguh. “
“
Tidak Pak. “ Ikbal tak mau mengaku, dia menyangkal melakukan itu.
“
Sudah ..tak usah bohong, “ bapak Teguh kesal Ikbal tak mau jujur.
“
Sudahlah Pak…” kata Bapak Kepala Sekolah menengahi. Beliau bingung, beliau
berkeinginan mengeluarkan Teguh karena konsistensinya dengan janji yang telah
dibuatnya. Tetapi jika Teguh keluar, bapak Teguh pasti tak akan meneerima dan
menuntut Ikbal dikeluarkan pula dari sekolah. Itu berari aka nada dua orang
siswa kelas 6 yang keluar dari sekolah.
“
Baiklah begini Pak, “ kata bapak kepala sekolah yang melihat emosi bapak Teguh
yang tak tertahankan, “ Kalau saya sendiri tetap mengeluarkan Teguh karena
memang saya tegas terhadap janji yang sudah saya buat. Saya tidak akan
mnegeluarkan anak yang nakal tetapi anak yang melapor pada orang tua. Tetapi
sekarang saya ingin guru – guru yang membuat keputusan bagaimana seharusnya.
Saya akan ambil suara terbanyak.”
“
Bu Nunung, “ katanya pada guru wali kelas 6 “ Bagaimana menurut pendapat ibu.
Apa Teguh ini sebaiknya diberhentikan dari sekolah apa tidak?” Bu Nunung hanya
menangis, dia tak sanggup mengatakan apapun juga, bingung dengan kejadian yang
menimpa muridnya. Kemudian kepala sekolah menanyaiku, “ Saya tidak ingin Teguh
dikeluarkan Pak. Seperti yang saya katakana tadi, Teguh emosi karena terpancing
oleh Ikbal, walaupun sebenarnya Ikbal hanya iseng saja. Jadi bukan sepenuhnya
salah Teguh. “ Kepala sekolah mengangguk.
“
Kalau Bu Lika “
“
Mereka kan sudah kelas 6 Pak dan sudah akan lulus, “ kata Bu Lika, “ Jadi cukup
susah mencari sekolah di waktu – waktu ini kalau mereka keluar. Belum tentu ada
yang akan mau menerima maereka “
“
Baiklah…” kata Pak Kepala Sekolah akhirnya “ Teguh tidak jadi saya keluarkan.
Tetapi lain kali saya tidak mau ada kejadian seperti ini terulang kembali.
Kalau ada masalah di sekolah, laporkan dulu pada guru atau bapak kepala
sekolah. “
“
Kau juga Ikbal. Jangan sekali – sekali lagi membuat masalh di sekolah, apalagi
dengan benda- benda tajam yang membahayakan. “
Aku
bernapas lega. Yang terpenting adalah siswa – siswaku tak ada yang keluar dari
sekolah. Aku tak akan membiarkan siswaku berhenti dari sekolah ataupun keluar
hanya karena masalah sepele. Bapak Teguh pun pulang, Teguh dan Ikbal kembali ke
kelas mereka.
“
Aku janji tidak akan melakukannya lagi, Bu, “ kata Ikbal padaku. “ Ibu pegang
janjimu Ikbal. Jangan sampai kejaidan ini terulang kembali ya. Kasihan kalau
temanmu harus dikeluarkan gara – gara kamu. “
“
Iya Bu, “ kemudian pergi.
Benar
– benar pengalaman yang luar biasa yang bisa dijadikan pelajaran hidup, tidak
mudah memang menghadapi anak – anak. Perlu kesabaran dan keteguhan hati untuk
terus berjuang mendidik mereka dan menjadikan mereka berakhlak yang baik dan berilmu
pengetahuan yang tinggi. Semoga Allah senantiasa memberiku kemudaham untuk
melakukannya.
BACA JUGA :
Ceritaku
- Obat Herbal Mujarab
- Assalamu'alaikum
- Cerita Hujan
- Rejeki Penjual Jas Hujan
- Pengalaman Mengikuti Seleksi Beasiswa LPDP
- Awardee LPDP PK 40 - Kemilau Nusantara-
- Susahnya Matematika K13
- Menulis Impian
- Fenomena Jurusan Kedokteran
- Perbedaan Gejala Maag dan Masuk Angin
- Pengalaman Ikut Workshop STIFIN
- Dampak Permainan Playstation bagi Anak
- Faktor Pembentuk Akhlak
- Profesi PNS Idaman Masyarakat
- Resensi Buku “ Trik – Trik Berhitung “
- Resensi Buku “ Belajar Menuang Ide dalam Puisi – Cerita – Drama “
- Resensi Buku “ We Are Good Mothers “ 100% Jadi Ibu bagi Wanita Pekerja
- Guru 12 Purnama
- Esok Kiamat ??!!
- Masalah Psikologis Anak
- Selamat Hari Guru
- Siswaku Indigo !!!
- Yuk Berdonasi di Kolong Ilmu
- Makna dari Kisah Abu Thalib
- Matematika, Siapa Takut ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar