Sabtu, 14 Juni 2014

Syukurilah Sahabat!!

Di ujung fajar yang tengah menyingsing, aku masih duduk berdua bersamanya, sahabat diri. Diam. Tak ada satupun dari kami berdua yang bersuara. Hanya ada bisikan angin yang terkadang menjatuhkan satu persatu dedaunan dari singgasananya. "Aku iri, "akhirnya sahabatku mulai mengeluarkan suaranya, bersamaan dengan suara jangkrik yang tak henti - hentinya  berbunyi. "Iri?" Aku tak mengerti. Terlintas beribu pertanyaan di benakku. "Mereka begitu cantik," lanjutnya, mengeluarkan sepotong kalimat yang lagi lagi membuatku mesti berpikir. "Siapa??Kau pun cantik" kataku. "Tak secantik mereka," dia menghela napas panjang, menunduk sambil memainkan jemarinya. Pikirannya tampak melayang layang entah kemana. "Aku pun tak  cantik tapi tak jadi masalah kan. Hatimulah yang akan menentukan segalanya," ujarku menasihati. " Tetap saja..kenapa aku tak secantik mereka??!!"dia berteriak keras menumpahkan segala emosinya.  Sahabatku yang malang, sedang dilanda kegelisahan akibat kekurangsyukurannya sendiri "Apa masalahmu sebenarnya?"tanyaku ingin tau.  Dia berkata lemas, "tak ada yang menyukaiku.." Aku tak mengerti apa yang dipikirkannya, tetapi sepertinya aku mulai mengerti arah pembicaraannya. "Apakah sesempit itu penilaianmu? Kecantikan bukanlah hanya pada apa yang tampak di pelupuk mata. Keindahan akhlak dan keteguhan iman lah yang utama,"nasihatku. Dia tertegun sejenak dan berpikir. "Sama saja, " katanya" teori. Nyatanya banyak hal yang tak mengerti akan hal itu. Keterbatasan indera penglihatan saja yang mereka pakai. Dan hampit semua manusia begitu. Sama saja tak ada bedanya." "Apa gunanya mengurusi mereka,"kataku sewot" apakah kamu rela waktumu terbuang untuk memikirkan manusia yang tak memiliki mata hati?" Dia tertegun. " Sungguh kawann.."lanjutku" Kesederhanaan dan ke"biasa"an mu yang justru akan menjadi cahaya dan magnet ketulusan abadi yang tak dimiliki oleh siapapun. Terkadang orang-orang menjadi buta oleh mata sendiri, lupa akan mata lain yang seharusnya justru dibuka untuk penentu segala keputusan.  Bersyukurlah dan rasakan ketulusan hati orang - orang di sekelilingmu dengan mata hatimu. Tak mau hidup bersama orang "buta" kan??". Kami pun terdiam lama. Dia sibuk dengan kontemplasinya dan aku dengan kontemplasiku. Akhirnya dia pun tersenyum, " yaa.. aku beruntung, " katanya" Allah menganugerahkan kekuranganku sebagai penentu ketulusan hakiki. Aku tak mau hidup bersama orang "buta" dengan pikiran sempit yang hanya menilaiku dari lahiriahku saja. Terima kasih sahabat,"  ujarnya tampak lega. Ohh sahabatku..singsingkan kekhawatiranmu. suatu hari kau akan menemukannya, orang tulus itu, yang dapat menggunakan mata hatinya dengan baik, aku yakin itu. Aku pun tersenyum bersamanya. Dan di hadapan kami sang surya mulai meninggi dan menyaksikan kami dengan pancaran kehangatannya .

BACA JUGA :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar