SD X ( anggap saja seperti itu ) … mungkin akan menjadi tempat yang tak terlupakan bagiku. Di sinilah
tempat pertama kali mengajar bagiku yang sebelumnya tak memiliki pengalaman
sama sekali. Yaa… minggu ini adalah minggu observasi. Setiap kelompok
ditugaskan untuk melakukan observasi di sekolah – sekolah sekitar sini.
Kemudian dengan metode undian, ternyata kami dari kelompok Reformasi
mendapatkan amanah bersama tim Pelangi untuk melakukan observasi di SD ini . Hmm… perasaanku campur aduk tak karuan. Karena tidak hanya melakukan
penilaian saja di hari Rabu, tetapi kemudian di hari Kamis dan Jum’at kami
ditugaskan pula untuk praktik mengajar di sekolah tersebut. Apakah aku sanggup,
pikirku. Terbersit sedikit keraguan dalam benakku. Tetapi aku mencoba untuk
menepis semuanya, menganggap ini adalah proses pembelajaran yang pastinya akan
menjadi kenangan dan pengalaman berharga seumur hidup. Yeahhh…here I’am … Let’s
start it ..
Rabu, 28 November 2012
Aku bersama
timku, Reformasi dan tim Pelangi yang begitu kebetulannya merupakan sesama
penghuni Paviliun 6 berjalan bersama – sama menuju TKP. SD X tak begitu jauh dari asrama kami. Hanya dengan
berjalan kaki kami dapat mencapai lokasi tak kurang dari 10 menit. Hmm …Dengan
penuh semangat aku melangkahkan kakiku ke sekolah itu. Memasuki gang – gang
kecil yang ada akhirnya aku dapat melihat dengan jelas plang bertuliskan SD X. Kami bersama Pak Amru mencoba menemui kepala sekolah yang bersangkutan
untuk meminta izin. Sambil melihat lingkungan di sekitar aku mulai menilai,
tidak terlalu luas dan yahh bisa dibilang lingkungannya kurang bersih dan
kurang rapi menurutku. Tetapi, aku belum tahu pasti bagaimana kondisi siswanya.
Setelah meminta izin pada guru yang mengajar di sana, kami mulai mencoba
melakukan observasi kelas. Dengan melakukan pembagian tugas, kami memilih kelas
yang akan kami masuki. Kebetulan aku bersama Uni Nova memutuskan untuk masuk di
kelas 1A. Sepertinya akan menarik untuk mengetahui kondisi di kelas rendah. Aku
memasuki ruangan yang sebelumnya aku tak mengira itu adalah sebuah ruangan
kelas. Sebuah ruangan kecil di pojok yang menurutku begitu dipaksakan. Begitu
sempit dan kurang ventilasi. Udara begitu panas walaupun kipas angin sudah
dinyalakan. Pintu yang ditutup menambah pengap suasana kelas. Tetapi
bagaimanapun juga pintu harus ditutup karena anak kelas satu terkadang masih
begitu aktif untuk berlari – larian bahkan untuk ke luar kelas. Aku dan Uni
Nova duduk di bangku belakang sambil memperhatikan si guru mengajar murid –
muridnya. Hmm…ternyata tak mudah. Setengah mati ibu guru harus meneriakkan suaranya
supaya tak kalah jauh diabanding siswa – siswa yang dengan semangatnya
berteriak – teriak dan berlarian kesana kemari. Aku hanya tersenyum dan
menggelengkan kepala. Wow.. apakah aku sanggup menghadapi anak – anak seperti
itu, pikirku. Walaupun tidak semuanya yang tidak bisa diatur. Ada juga yang
diam memperhatikan, ada yang sibuk menggosip dan bermain, dan ada juga yang
begitu aktifnya mengganggu temannya yang lain. Berbagai macam karakter yang
berbeda yang akan menjadi pelajaran bagiku, karena pada dasarnya begitulah
kenyataan di lapangan. Si bu guru begitu sibuknya menerangkan pelajaran tentang
tata terib yang kemudian diikuti dengan siswa yang belajar membaca dan
menuliskan kalimat – kalimat di papan. Lucunya karena aku duduk di belakang,
terkadang siswa – siswa tersebut menoleh ke belakang melihatku penuh rasa ingin
tahu dan ketika aku balik menatap mereka , mereka kembali menghadap depan.
Hihihi…begitu lucunya mereka. Masih terlihat polos dan lugu. Aku mulai
membayangkan, bagaimana mereka ya kalau sudah besar. Pastinya sudah tidak selucu
sekarang. Yahh..masa – masa anak – anak. Terkadang aku ingin kembali ke masa itu,
menikmati hidup yang seakan tanpa beban. Hanya bermain dan belajar, tanpa
permasalahan.
Kemudian
aku melihatnya, seorang anak yang kuketahui bernama Ikal. Salah seorang anak yang cukup aktif berlarian
ke sana sini bersama teman – teman cowoknya. Anak yang ketika disuruh gurunya
menulis malah asyik berlarian kesana kemari mengganggu teman – temannya.
Menarik sekali..aku perlahan mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Aku tersenyum
melihatnya mencoba mengajaknya berbicara , “ Sudah selesai nulisnya??” Dia
hanya menggeleng sambil menatapku. “ Ayo coba diselesaikan ,” tambahku.
Akhirnya dia mau membuka buku tulisnya. Aku melihatnya mulai menulis , tetapi
menggunakan tangan kiri. Aku mencoba menasehatinya “ Anak yang baik ..kalau
nulis pakai tangan apa ya? “ Dia mengubah posisi tangannya. Sebenarnya aku
sedikit deg – degan. Aku tak pernah menghadapi murid sebelumnya, aku belum
terbiasa, apalagi anak – anak kelas rendah. Aku takut salah berbicara yang
nantinya hanya akan mempengaruhi kondisi mentalnya. Jadi aku berusaha sehati –
hati mungkin. Si Ikal terlihat mulai
serius mengerjakan tugasnya, karena dia melihat teman – temannya sudah selesai
dan sudah menilaikan tugasnya sehingga dia terpacu untuk kemudian mengerjakan
tugas tulisannya. Tetapi aku melihat raut wajah kebingungan di wajahnya. Dia
ternyata belum hafal huruf, belum lancar membaca dan menulis. Dalam soal
latihan diberikan gambar mangga rasanya apa dan berwarna apa. Aku berusaha
membantunya. Aku beritahu bagaimana contoh tulisan huruf a, b, c dan seterusnya. Walaupun dia menjadi yang paling lama mengerjakannya
akhirnya dia bisa menyelesaikannya juga. Dia bernafas lega karena akhirnya dia
bisa pulang. Benar – benar lucu kelakuan mereka. Aku tak tahu apakah aku bisa
sabar menghadapi anak – anak kecil itu.
Siangnya aku
mencoba mengobservasi kelas tinggi. Dengan ruangan kelas yang sama yang
kemudian dimasuki oleh anak kelas siang yaitu kelas 4A. Pelajaran yan
seharusnya adalah IPA tetapi ternyata diisi dengan pelajaran Agama. Ketika aku tanya
gurunya kenapa tiba – tiba diganti , Bu Guru Agama bilang tidak tahu, karena
tiba – tiba si Guru IPA meminta untuk digantikan. Apakah di sekolah ini begitu
mudahnya mengganti jam – jam pelajaran begitu saja, pikirku. Murid – murid
kelas 4 itu diberi tugas untuk mencatat dari buku paket yang dipinjamkan. Yaaa…ternyata
tak ada satupun dari mereka yang memiliki buku. Mereka hanya dipinjamkan ketika
pelajaran berlangsung, diberi tugas mencatat buku yang dipinjamkan selama
pelajaran dan para siswa belajar dari buku catatannya masing – masing, cerita
seorang anak padaku. Ohh…aku baru tahu kalau metodenya seperti itu. Aku
bertanya lagi pada seorang anak bernama Chaniya, apakah tidak ada insiatif
untuk membeli atau memfotokopi buku yang ada. Tetapi dia bilang tidak ada,
karena memang tidak ada yang seperti itu sebelumnya. Bagi yang tidak mencatat
ya terima nasib, tidak ada yang dipelajari. Selama pelajaran Agama berlangsung,
anak – anak diminta untuk mencatat buku sebanyak beberapa halaman dan kemudian
gurunya menghilang entah kemana. Sampai aku pulang pun gurunya tak kunjung
kembali. Hmm… sungguh miris sekali.
Hari ini aku
mulai praktik mengajar. Hmm…rasanya deg – degan juga, baru kali ini aku
mengajar murid – murid di depan kelas. Kebetulan aku mendapat jatah mengajar
siang hari jam 12 untuk anak – anak kelas 4B yang masuk siang. Diiringi panas
terik yang menyengat aku berjalan menuju ke ruangan kelas 4B. Ternyata ruangannya
tepat di antara ruangan kelas 4A yang kuobservasi kemarin dan juga kelas 3.
Tidak ada bel sekolah, sehingga aku tak tahu kapan pelajaran dimulai, berganti,
istirahat atau pulang. Ketika ditanyakan pada seorang guru, alasannya ialah
gedung sekolah yang baru direnovasi sehingga bel sekolah belum sempat dipasang.
Panas dan pengap, itulah yang pertama kali aku rasakan saat memasuki ruangan
kelas 4A. Ruangannya cukup besar sebenarnya, tidak ada kipas angin seperti
ruang kelas kemarin dan masih tetap kurang ventilasi. Selain itu, karena
letaknya yang berada di antara ruangan kelas, membuatku perlu mengeluarkan
energy ekstra untuk berteriak – teriak supaya dapat menguasai kelas, apalagi
kalau kelas – kelas sebelahnya ramai, benar – benar harus berusaha mengimbangi
suasana lelas yang ricuh.
Materi yang aku bawakan yaitu pelajaran Matematika,
mengenai keliling segitiga. Aku mencoba untuk mempraktikan ilmu yang kupelajari
selama pembinaan. Membuat scenario pembelajaran dengan menggunakan metode
tertentu. Aku menggunakan metode puzzle
untuk apersepsi, dengan menggunakan kertas lipat yang aku gunting membentuk
bangun – bangun datar tertentu seperti persegi, persegi panjang dan segitiga
kemudian dipotong – potong lagi secara acak untuk membuat puzzle. Kemudian, aku
membagi mereka secara berkelompok yang kemudian mereka diberi tugas untuk
menyusun puzzle. Setelah itu baru aku masuk materi tentang luas segitiga.
Mereka tahu dan hafal benar rumusnya, tetapi masalahnya adalah ketika aku
memberikan soal, mereka tak bisa menjawab, karena mereka ternyata tak tahu cara
menghitungnya. Mereka belum bisa perkalian dan pembagian, aku cukup stress
menyadari kenyataan yang terjadi. Perkalian 1 sampai 10 saja mereka belum bisa,
apalagi pembagian. Tak ada gunanya mereka tahu rumus tanpa bisa mengerjakan
soalnya. Aku jadi bingung mau mulai dari mana, sepertinya mereka perlu diajari
mulai dari awal, tetapi sebenarnya itu adalah materi kelas 3, dan mereka sudah
kelas 4, seharusnya mereka sudah bisa. Yaa… sudahlah. Ingin rasanya aku mulai
mengajarkan mereka dari awal, tetapi karena waktunya yang hanya satu jam dan
tidak mencukupi, maka aku belum bisa memberikan banyak. Aku berikan penutup
dengan menggunakan nyanyian rumus bangun datar yang semoga bisa membuat mereka
lebih mudah untuk menerti.
Pelajaran yang
berikutnya yaitu Bahasa Indonesia yang diisi oleh Kak Darni. Sedangkan aku
tetap berada di kelas untuk mengobservasi kelas. Memang benar – benar butuh usaha ekstra untuk
menguasai kelas. Kami berteriak – teriak sampai hampir habis suara supaya tidak
kalah dengan kelas – kelas sebelah yang juga luar biasa ramainya. Apalagi anak
– anak yang rusuh naik – naik ke atas bangku dan begitu susah untuk
dikendalikan. Sudah diingatkan berkali – kali tetapi tetap saja dilakukan,
sepertinya sudah menjadi kebiasaan di sana. Pelajaran 3,5 jam rasanya menguras energy
berhari – hari. Aku pun tidak bisa menyalahkan kondisi murid – muridnya, tetapi
lingkungan memang tidak mendukung jadi ya apa boleh buat.
Setelah kemarin mencoba
mengajar kelas atas, hari ini aku mencoba mengajar kelas bawah, tepatnya yaitu
kelas 2A. Aku sudah bersiap – siap sedemikian rupa untuk membuat metode
pembelajaran yang semenarik mungkin, mengingat anak – anak kelas rendah yang
tentunya akan lebih aktif dibandingkan anak kelas tinggi. Ruangan kelas 2A berada di belakang. Kondisi
kelas cukup lumayan dibanding yang kemarin. Paling tidak hanya ada satu kelas
di sampingnya dan juga ada kipas angin yang sangat berguna untuk sirkulasi
udara. Awal aku masuk kelas mereka , mereka cukup bingung siapa sebenarnya aku
ini. Orang asing yang tiba – tiba masuk kelas mereka. Mereka kira aku adalah
guru baru mereka. Setelah perkenaan barulah mereka mengerti. Aku mencoba
melakukan pendekatan pada mereka dengan menyuruh mereka memperkenalkan diri
satu persatu nama dan cita - citanya. Beberapa anak tampak malu – malu. Bahkan ada yang tidak mau maju di depan
kelas. Mengenai cita – cita , sebagian
besar anak – anak cowok ingin menjadi pemain bola, beberapa ingin jadi tentara
atau polisi. Sedangkan anak – anak perempuan kebanyakan ingin menjadi dokter
atau guru. Sungguh menarik mendengar impian anak – anak polos itu. Kemudian masuk pada materi pelajaran. Kali ini
aku berkesempatan untuk mengajarkan materi tematik Matematika dan PLH (
Pendidikan Lingkungan Hidup ). Terus terang aku bingung bagaimana menggabungkan
antara kedua materi tersebut. Akhirnya aku memutuskan untuk mengajar mata pelajaran Matematika dulu. Aku
mengeluarkan suatu benda yang dibungkus kresek dan kuperlihatkan kepada para
siswa dan aku suruh menebak kira – kira apa yang ada di dalamnya. Yaaa… seorang
anak perempuan berhasil menjawabnya, sebuah timbangan. Jadi kira – kira materi
apa yang akan diajarkan hari ini, tanyaku. “ Mengukur berat buuu…menimbang …”
Yaaa…betul sekali, jawabku sambil tersenyum. Hari ini mereka akan mencoba
aplikasi materi pengukuran berat dengan metode menimbang badan mereka sendiri.
Aku sudah menyiapkan timbangan badan yang aku pinjam dari kelas SGI dan sebuah
timbangan kue yang aku pinjam dari pantry untuk mengukur dalam satuan gram. Aku
senang melihat siswa – siswa begitu antusias. Aku membagi mereka menjadi dua
kelompok besar yang mengharuskan mereka untuk baris dan mengantri. Mirisnya
ternyata mereka tidak bisa baris. Aku mencoba menyiapkan mereka dan aku suruh
lencang depan, tetapi mereka tak mengerti bagaimana itu lencang depan. Ada yang
memakai tangan kiri dan tidak ada satu pun yang meluruskan barisannya. Aku
hanya geleng – geleng kepala melihat mereka. Dengan susah payah aku mengatur
mereka, apalagi siswa – siswa laki - laki yang begitu aktifnya berlarian kesana
kemari. Seketika kelas berubah menjadi posyandu dadakan, mereka mengantri
menimbang berat badan dan dilanjutkan dengan menuliskan nama dan berat badan
mereka di papan tulis. Setelah itu mereka menimbang alat – alat tulis mereka
dengan menggunakan timbangan kue dan belajar membaca timbangan. Setelah itu
mereka aku ingatkan dengan materi mengubah satuan dari kilogram ke ons,
kilogram ke gram dan dari ons ke gram. Dilanjutkan dengan menyanyi dengan lagu
yang aku buat dadakan. Karena mereka senang sekali dengan lagu Iwak Peyek, jadi
aku buat lagu dadakan dengan nada Iwak Peyek lengkap dengan gayanya
Satu kilogram…satu kilogram … sama dengan
sepuluh ons …
Satu kilogram …
satu kilogram… sama dengan seribu gram …
Satu ons … satu ons
… sama dengan seratus gram …
Ayo kawan .. ayo
kawan …kita belajar pengukuran ..
Begitulah kira –
kira lirik lagunya. Entahlah aku tak peduli apakah aneh atau tidak yang penting
mereka senang itu saja. Aku ulang – ulang sampai kira – kira mereka hafal. Begitulah
akhir dari pelajaran Matematika. Untuk pelajaran Liingkungan Hidup karena
materinya kebetulan tentang Bersih di Sekolah. Akhirnya aku suruh mereka
untuk bersih – bersih di kelas dan di
seluruh lingkungan sekolah secara berkelompok. Aku agak kewalahan menghadapi
siswa – siswa cowok yang begitu aktifnya berlarian kesana kemari bahkan sampai
keluar gerbang sekolah, untungnya akhirnya tak lama mereka kembali ke kelas
lengkap dengan mainan yang dibelinya yang kemudian dimainkan bersama teman –
temannya. Kudekati mereka dan kutanya apa itu, mereka lalu menyembunyikannya.
Aku membuat aturan untuk menyitanya kalau mereka tetap memainkannya, akhirnya
mereka menyimpan mainan tersebut. Setelah acara bersih – bersih selesai, dilanjutkan
dengan menulis. Mereka aku suruh menulis dari buku mereka beberapa kalimat dan
kemudian membacakannya di depan kelas. Karena pada dasarnya anak kelas 2 itu
belum terlalu lancar menulis dan membaca jadi perlu pembiasaan. Setelah itu di
akhir kelas aku bagi mereka kertas lipat untuk membuat berbagai macam kreasi,
terserah mereka, dengan dituliskan nama dan cita – cita mereka. Kebanyakan
mereka membuat pesawat – pesawatan yang kemudian diterbangkan ( ide dari 30
minutes in action for peace ) . Akhirnya selesai jugalah pelajaranku pada hari itu. Aku bernafas lega.
Begitu banyak hal yang kupelajari pada hari itu yang mungkin bisa bermanfaat
bagiku di lain waktu.
BACA JUGA :
Ceritaku
- Obat Herbal Mujarab
- Assalamu'alaikum
- Cerita Hujan
- Rejeki Penjual Jas Hujan
- Pengalaman Mengikuti Seleksi Beasiswa LPDP
- Awardee LPDP PK 40 - Kemilau Nusantara-
- Susahnya Matematika K13
- Menulis Impian
- Fenomena Jurusan Kedokteran
- Perbedaan Gejala Maag dan Masuk Angin
- Pengalaman Ikut Workshop STIFIN
- Dampak Permainan Playstation bagi Anak
- Faktor Pembentuk Akhlak
- Profesi PNS Idaman Masyarakat
- Resensi Buku “ Trik – Trik Berhitung “
- Resensi Buku “ Belajar Menuang Ide dalam Puisi – Cerita – Drama “
- Resensi Buku “ We Are Good Mothers “ 100% Jadi Ibu bagi Wanita Pekerja
- Guru 12 Purnama
- Esok Kiamat ??!!
- Masalah Psikologis Anak
- Selamat Hari Guru
- Siswaku Indigo !!!
- Yuk Berdonasi di Kolong Ilmu
- Makna dari Kisah Abu Thalib
- Matematika, Siapa Takut ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar